Manokwari, Berita lima.com – Ketua Tim peneliti Hukum Adat STIH Manokwari Filep.Wamafma, SH.,M.Hum.,C.L.A dalam press lirisnya bertempat di ruang rapat khusus kampus STIH Manokwari sanggeng selasa (11/4) mengatakan, terdapat Tiga marga besar di Kabupaten Teluk Wondama yang dipastikan akan punah dan tidak dapat diselamtkan lagi jika terhadap kearifan lokalnya tidak dapat dijaga dan mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah setempat dalam melestarikan budaya dan kearifan local, terhadap suku dan marga adat yang telah lahir turun temurun sejak lampau. Hal ini ditegaskan Ketua tim peneliti hokum adat terhadap menyikapi hasil penelitian yang telah dilakukan untuk yang kedua kalinya bertempat di Teluk Wondama, usai sebelumnya Tim telah melakukannya di Manokwari, dan Pegunungan Arfak terhadap eksistensi Hukum Adat serta nilai-nilai kearifan local yang semestinya harus tetap terjaga sebagai penunjang pembangunan di Provinsi Papua Barat.
“ Kearifan Lokal dan structural budayanya harus tetap terjaga dan mendapat perhatian pemerintah dalam memelihara kelestariannya sebagai bentuk perhatian menyeleraskan hokum adat dan kearifan local asli yang harusnya tetap dapat diturunkan kepada setiap regenerasi masyarakat adat berikutnya,”Ujar Filep
Adapun dari hasil penelitian akan hokum adat yang kedua yang telah di lakukan sejak tanggal 03 April – 10 April 2017 ini menyimpulkan jika tidak dapat terjaga kearifan serta buadaya local dari suku – suku tertua yang ada maka dipastikan ketiga marga di Teluk Wondama dari suku Miere dan Mairasi, yang mendiami tanah adat hutan distrik naikere, yakni terhadap marga Iruwata, Wariwata dan Tamboa, dipastikan nilai leluhur adat mereka terhadap lahirnya regenerasi marga adat dari ketiga marga ini akan punah dan hilang begitu saja kelestariannya.
“ Kami simpulkan ini berdasarkan hasil penelitian akan hokum adat terhadap budaya kerifan local disana yang sudah tidak terjaga lagi. Dan mirisnya hal ini tidak mendapat perhatian serius dari Pemerintah Daerah setempat,”jelasnya
Lanjut dibeberkannya, dari kesimpulan hasil penelitian yang melibatkan 6 orang peneliti STIH Manokwari, 3 orang peneliti dari universitas Atmajaya Jogjakarta, serta 3 orang sekertariat tim lapangan, hal ini terjadi dimana masyarakat pada suku ini dinilai kurang mendapat perhatian yang serius terhadap program pemberdayaan masyarakat setempat sebagai bagian dari implementasi nilai UU Otonomi Khusus, akan perhatian kepada masyarakat adat. Hal ini seperti tidak adanya perhatian pelayanan kesehatan yang memadai dari Pemerintah, kurangnya sosialisiasi perilaku hidup yang bersih, dan perhatian akan pentingnya kecukupan gizi terhadap masyarakat, dan pentingya pemahaman persalinan yang sesuai dengan ketenaga ksehatan yang memadai.
“Punahnya suku ini, selain kurangnya budaya mereka yang bergaul dengan suku lainnya, juga terjadi kepunahan secara tidak sehat, dimana setiap terjadinya proses kelahiran regenerasi atau melahirkan, ibu dan anaknya pasti langsung meninggal. Hal ini dikarenakan salah satu faktornya disebabkan oleh ketidakketersediaannya tenaga medis kesehatan yang dihadirkan atau ditempatkan oleh Pemerintah dalam melayani masyarakat setempat,”jelasnya
Dari hal ini Filep Wamafma menjelaskan serta meminta agar dari kesimpulan dan rangkuman informasi yang telah dihimpun oleh timnya sedianya dapat menjadi acuan terhadap Pemerintah daerah agar dapat mengkaji kembali pencapaian program pemberdayaan masyarakatnya yang dinilai masih belum tepat sasaran, serta pentingnya menjaga memelihara budaya kearifan local harus dimaksimalkan. (IAN)