Tindakan Kejam Kerja Paksa Purna Tragedi 1965 Harus Dicatat

  • Whatsapp
Peneliti Ruth Indiah Rahayu (kanan) bersama Penyintas 1965 Bisri: Tindakan kejam kerja paksa purna tragedi 1965 harus dicatat (foto: andaka)

Jakarta, beritalima.com| – Tindakan kejam kerja paksa yang terjadi purna tragedi September 1965 dialami oleh banyak anak bangsa harus tetap dicatat. Hal ini diutarakan Dr. Ruth Indiah Rahayu (Peneliti di Research Center for Crisis and Alternative Development Strategies), dalam diskusi bertema “Memaknai Resiliensi Sebagai Bahasa Kemanusiaan Pasca 1965” di Praksis (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesuit) di Kolese Kanisius, Jakarta (24/10).

Ruth menanggapi pengakuan seorang penyintas tragedi 1965 asal Banten, Bisri, 93 tahun, yang membagi pengalamannya saat menjadi “tahanan politik”, menjalani kerja paksa yang sangat tak manusiawi dan dipenjara puluhan tahun mulai dari tanah kelahirannya (Banten), pindah keNusakambangan (Jawa Tengah) hingga Pulau Buru (Maluku).

Bagi Ruth, kejadian kelam seperti dialami Bisri mesti ada catatannya. “Memorialisasi benda dan tak benda tetap dilakukan untuk merawat ingatan kolektif warga negara. Memorialisasi kerja paksa di tempat-tempat di mana hal itu terjadi perlu dipikirkan (memorialisasi benda), sedangkan memorialisasi tak benda dapat terus dilakukan melalui penggalian informasi dan penulisan kisah,” jelas Ruth.

Intinya, perjalanan sejarah di Tanah Air ini tak boleh dilupakan begitu saja. Karena, seperti dalam pengakuan Bisri, kekerasan maupun kerja paksa yang dialaminya dilakukan oleh aparat negara. Jadi, negara disini ikut terlibat.

Jadi, Ruth mengusulkan perlu diadakan proyek memorialisasi dan politik pengetahuan agar tindakan kejam yang dilakukan oleh negara itu tidak dilupakan. Tindakan kejam kerja paksa itu  perlu terus dikisahkan dan diingat, agar menjadi pelajaran bersama, khususnya bagi generasi muda.

Dalam pengakuannya, Bisri adalah seorang warga negara Indonesia biasa (seorang petani). “Saya ditangkap pada tanggal 5 Oktober 1965. Waktu itu saya mau ke lapangan melihat peringatan Hut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.” Ia lalu ditangkap, lalu dituduh segala hal yang terjadi terkait peristiwa G30S, serta dicap ikut Partai Komunis Indonesia (PKI). Karena tak tahan siksaan setiap hari, Bisri pun menyerah dan menyuruh petugas yang bertanya untuk mengisi formular semaunya petugas.

Saat dipenjara (beserta tahanan lainnya), Bisri disuruh kerja paksa melakukan banyak hal, mulai membenahi Pelabuhan di Banten, membangun jalanan, rumah prajurit, dan lain sebagainya. Di Pulau Buru, Bisri ikut kerja paksa membangun sistem pertanian. Bahkan banyak tahanan yang akhirnya wafat karena sudah tak kuat. Bisri baru dibebaskan pada 1979, dengan KTP diberi tanda besar “E.T.” (Eks Tapol), sehingga diwajibkan secara rutin melapor diri.

Jurnalis: abriyanto

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait