SURABAYA, Beritalima.com |
Konten kreator Tiktok di Indonesia kembali membuat trend dengan menyanyikan “Welcome to Indonesia” yang memuat beragam sindiran yang memperlihatkan kondisi di Indonesia. Meski menuai berbagai pro dan kontra, nyatanya konten bertema “Welcome to Indonesia” dipandang positif dari sisi Komunikasi.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR) Nisa Kurnia Illahiati, S.Sos., M.Med.Kom., menanggapi bahwa video tersebut menjadi bentuk kritik yang dinamik dan kreatif.
“Sarcasm is a whole of level dibandingkan misalkan kritikan yang dulu bersifat physical,” ungkapnya.
Ia menyebutkan berkembangnya video ini juga sedikit banyak melatih cara netizen mengkomunikasikan kritik dengan cara yang lebih baik.
“Video ini menggunakan makna laten, dan jadi dinamika tersendiri yang bagus dalam platform media sosial di Indonesia,” sebutnya.
Melalui wawancara bersama Unair News, pengampu mata kuliah Media Budaya dan Masyarakat Urban ini menyebutkan video tiktok Welcome to Indonesia sebagai wadah berekspresi bagi para penggunanya.
“Welcome to Indonesia merupakan wadah untuk meluapkan rasa frustasi karena tidak bisa mengubah apa yang dianggap seharusnya benar oleh tiktokers,” jelasnya.
Kritik dalam bentuk video ini, tambahnya, juga membuktikan bahwa kini kritik tidak terbatas pada platform tertentu. Sebagai media sosial yang digandrungi oleh kalangan muda remaja hingga dewasa, aplikasi berbagi video ini mengalami perkembangan dari media yang dikenal menampilkan keterampilan menari penggunanya, hingga menjadi media menyalurkan ekspresi.
“Akhir tahun 2020, muncul dakwah Tiktok dimana Tiktok tidak lagi digunakan untuk menampilkan kemampuan dance sesuai yang disarankan Tiktok. Kemudian terjadi pergeseran dari yang awalnya having fun, entertainment purposes menjadi semua fungsi, dari edukasi, informasi, dan katorsis termasuk ekspresi diri,” tuturnya.
Sesuai dengan teori social construction of technology, Nisa menyebutkan pembuat mungkin memiliki ekspektasi tertentu dalam membuat media, namun yang menentukan perkembangan pemakaian teknologi adalah pemakai media itu sendiri.
“Sama seperti media lain seperti Facebook, Twitter atau Instagram. Platform TikTok tidak harus digunakan sebagaimana yang diinginkan oleh pembuat, tapi berkembang mengikuti masyarakat yang menggunakannya,” jelasnya.
Ragam bahasa, sambung Nisa, juga menjadi keunikan tersendiri yang menjadi pembeda platform jaringan sosial video musik asal Tiongkok tersebut dari media lainnya.
“Justru disitulah keunikan yang membedakan satu di antara media lain, dari bahasanya saja kita bisa tahu itu dari media apa,” paparnya.
Menurutnya, perlahan tapi pasti, pengguna suatu media akan membuat kesepakatan dalam membentuk bahasa yang digunakan.
“Misalnya Twitter bahasanya text-based language dengan singkatan ala Twitter, lalu Instagram dengan bahasa yang secara visual muncul di feed, dan Tiktok secara verbal non formal yang punya bahasanya sendiri,” tutupnya. (Yul)
Caption foto Nisa Kurnia Illahiati, S.Sos., M.Med.Kom., Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (UNAIR)