BANYUWANGI Beritalima.com – Layaknya pernikahan pada umumnya, Warga Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, meminta hujan dengan menggelar ritual adat Jaranan “Mantu Kucing”. Dengan mengendong sepasang kucing, puluhan warga berjalan kaki menuju sumber mata air Umbul Sari desa setempat.
“Ritual ini selain sebagai tolak balak juga di lakukan sebagai sarana peminta hujan, yang di lakukan turun temurun mulai tahun 1930,” papar sesepuh desa, Martoyo. Kamis (10/11/2016).
Tidak ada jenis kucing kusus yang di pakai dalam ritual adat ini, namun sepasang kucing yang di beri nama Slamet, bagi kucing laki-laki, dan Rahayu kucing perempuan, ini harus di bawa dari dua sudut mata air, yaitu utara dan selatan.
“Kalau kucing bernama slamet tadi di bawa oleh joko tirto utara, Kusnadi, dan Rahayu di bawa Suparji, joko tirto selatan,” tambahnya.
Ritual yang di lakukan setahun sekali ini, biasanya di lakukan setiap bulan November, di kamis malam jumat kliwon di pertengahan bulan, setelah kedua kucing di temukan, selanjutnya di arak layaknya pengantin. Setelah sampai sumber, kucing tersebut di lepas tepat di atas sumber yang tak pernah kering.
“Simbul kucing tersebut di pakai karena, hewan yang takut air, dalam ritual ini di lepaskan tepat di sumber Umbul Sari,” terangnya.
Awalnya pada tahun 1930, terjadi kemarau panjang, kepala desa Tirto Samudro, mendapat wangsit dari danyang mbah Umbul Sari, untuk mengadakan mantu kucing, dan jaranan, untuk segera di lakukan agar kemarau yang berada di Desa Grajagan segera berahir.
Menurut keterangan Kepala Desa Grajagan, Supriono, ritual ini rutin di lakukan setiap tahunnya, dan belum pernah sekalipun di tinggalkan, terlebih ini sudah. Menjadi tradisi budaya, yang patut di lestarikan.
“Ini sudah menjadi budaya warisan nenek moyang yang harus di uri-uri sekaligus di lestarikan,” Terang Supriono, usai melakukan ritual sakral tersebut.
Setelah di lakukan prosesi pelepasan kucing, dlanjutkan dengan sukuran (porak ambeng) di sekitar lokasi sumber Umbul Sari, dan malamnya di lanjut dengan pagelaran wayang kulit, sebagai rangkaian ahir bersih desa.
(abi)