oleh : beladwiyana
Tongkat estafet. Itu sebutan untuk properti lari. Yang berkaitan dengan perlombaan lari dengan sekian angka yang menjadi target. Berbicara soal angka, selalu berkaitan dengan usia. Terlebih bila dikaitkan dengan perempuan. Sensitif ketika memasuki angka kisaran dua puluh dua tahunan. Angka kembar yang cukup menakuti perjalanan, bagi sebagian orang. Apa lagi berbicara soal perempuan madura. Harus bersiap memasang telinga, melapangkan dada, dan bersabar tiada duanya. Segala bisikan serta kritikan yang mengharuskan perempuan bila memasuki usia dua puluhan, sudah merajalela. Target pencapaiannya yang selalu menjadi tolak ukur kesuksesaan dibandingkan satu dengan yang lainnya. Padahal, setiap orang punya waktu dan masa masing-masing untuk meraihnya. Kebebasan yang seharusnya menjadi landasan bagi semua orang, kini di garis bawahi hanya diperuntukkan oleh orang-orang tertentu, terlebih laki-laki yang selalu mempunya kebebasan lebih, apa pun itu.
Emansipasi wanita bungkam. Semua terlalu mengikuti tradisi dan budaya yang kerap menjadi acara tahunan secara turun temurun. Bila dilihat dari sudut pandang yang lain, perempuan juga berhak menentukan apa yang dia capai, mulai dari karir, memanjakan diri sendiri, atau lebih berbakti kepada orang tua, sebelum berpindah alih tanggung jawab. Minimnya kesadaran juga menjadi tolak ukur peradaban di masyarakat, yang masih menggangtungkan fase-fase zaman dahulu, dimana perempuan harus mengikuti pola hidup, belajar – kuliah – menikah – punya anak – lalu mati. Lingkaran yang hanya berputar pada pola primitif, tidak membuat pola pikir semakin progresif. Keterbalakangan pola pikir seharusnya bisa diperbaiki sedikit demi sedikit mengikuti zaman yang semakin maju dan berkembang.
Memasuki abad 21, penyamarataan serta kebebasan pendapat bukan terbatas oleh gender. Semua berhak bersuara, berperan aktif di dalamnya. Tapi sekali lagi, perempuan yang menjadi sorotan utama. Hal kecil di antaranya seperti, bila perempuan bersuara mengenai apa yang tidak sinkron dengan sanubarinya, lalu mengutarakan pendapat, selalu di cap, terlalu melawan dan membangkang. Lebih parahnya, selalu di sangkut pautkan dengan usia perempuan. Bila tidak mengikuti petuah apa yang menjadi tradisi orang tua, akan menjadi perawan tua. Padahal, logisnya, keduanya tidak berkesinambungan. Tidak sinkron bila dikaitkan antara pendapat dengan usia.
Pasca lulus kuliah, bagi sebagian perempuan madura, mengharuskan untuk menikah. Di sisi lain, jauh di lubuk hatinya, ada cita-cita yang masih menggantung dan harus di wujudkan setelah itu. Namun kenyataannya, di lingkungan keluarga memaksa untuk mendekati hal-hal yang berkaitan dengan seriusnya hubungan. Bukan di paksa, melainkan diharuskan. Giliran berucap suara, langsung di bungkam dengan segala cara. Tidak patuh,anak tidak berbakti, salah pergaulan lah dan sebagainya. Kalimat sederhana yang mampu mematikan mental seorang perempuan itu di mulai dari lingkungan kita sendiri.
Miris melihat peradaban di masyarakat yang masih berputar di pola-pola konvensional, tanpa melihat dari sudut pandang yang lebih luas secara global. Perlu adanya edukasi penting mengenai emansipasi perempuan terkait apa yang ada di dalam sanubarinya. Kita tidak pernah tahu, apa yang menjadi tujuan utama seorang perempuan selain istri. Banyak yang memilih untuk berakhir di dunia kerja dengan mengembangkan skill. Kebebasan yang harus lebih diperhatikan terutama pada perempuan. Karena perempuan, juga berhak untuk itu.
Ketergantungan dengan pola estafet yang mengharuskan perempuan mengikuti peradaban kuno, dapat menutup prespektif yang bisa dilihat dari segala arah. Itu sebabnya perempuan madura kurang berkembang. Meski pun ada yang cukup jauh berkembang pesat, hanya segelintir orang dengan menggunakan ‘koneksi’ yang menjadi barometer tolak ukur kesuksesannya, mereka cenderung memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Sehingga tidak terlihat unsur Madura dalam diri perempuan itu.
Terlepas dari sisi kesuksesan perempuan, di Madura, tepatnya di kawasan pinggiran mau pun pedalaman, adalah pasangan. Yang menjadi ‘hebat’nya perempuan adalah mendapatkan calon suami atau pasangan yang sudah ‘mapan’ dari kacamata orang tua. Seperti para orang-orang yang memakai baju dengan sebutan ‘idaman orang tua’.
Sungguh miris melihat pola pikir yang masih beranggapan bahwa suksesnya perempuan dilihat dari itu. Padahal, perempuan bisa berdiri sendiri di atas kedua kakinya. Perempuan bisa meraih apa yang dia cita-citakan tanpa menggantungkan harapan pada pasangannya. Dan perempuan, jauh di hargai bila dirinya memiliki pekerjaan dan berpenghasilan. Tolak ukur yang masih kerap terjalin adalah, dengan cara di jodohkan. Terlebih di jodohkan dengan sanak familiy. Bukankah bertentangan dengan kodrat Sang Tuhan yang sudah menetapkan jodoh seseorang di lauful mahfudz?. Entah masih berpegangan teguh terhadap ‘memanjangkan tongkat estafet’ demi meneruskan budaya yang cuku pdibilang terbelakang dan kuno untuk era yang digital saat ini.
Hakikatnya perempuan adalah seseorang yang juga berhak menentukan apa yang ingin dia capai. Meraih impian yang ia idamkan sejak dulu. Tanpa harus mengikuti perpindahan tongkat yang cukup memilukan hati, tanpa memikirkan esok di hari nanti. Perempuan yang kurang asupan ilmu pengetahuan justru akan menjadi bulan-bulanan kelak di lingkungannya. Dan dalam masyarakat Madura, itu cukup direndahkan. Padahal, perempuan tidak seharusnya direndahkan, justru harus dimuliakan.
Perempuan itu berhak menentukan apa yang ingin dia tentukan. Dengan melalui beberapa pertimbangan kedua orang tua mau pun sanak family. Perempuan tidak perlu takut untuk mengejar pendidikan sampai ke jenjang doktor maupun profesor. Buang prespektif bahwa, ‘perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya lari ke dapur’. Memang benar kodratnya perempuan selalu berkaitan dengan istilah sumur, dapur dan kasur. Tapi perlu di garis bawahi, perempuan yang cukup bekal ilmu pendidikan – cerdas, akan melahirkan keturunan yang juga cerdas tentunya. Itu sebabnya, perempuan sangat dianjurkan untuk terus belajar, belajar dan belajar.
Hilangkan sudut pandang bahawa, ‘semakin tinggi pendidikan perempuan, semakin sulit mendapat jodoh’. Itu ucapan orang-orang yang tidak sebanding dengan perempuan hebat. Pemikiran yang masih selebar daun kelor, dan masih cukup tertutup dengan beberapa tongkat estafet yang tertelan di kehidupan, itu cukup menjadi pemicu integritas perempuan. Pada kenyataannya, perempuan yang semakin tinggi pendidikannya, justru jauh lebih bijak dalam memilah pasangan. Karakteristik yang bisa ditentukan dengan sedemikian rupa, tanpa berpatokan dengan acuan-acuan yang tidak sebanding dengan perempuan pada umumnya. Dan yang terakhir, kubur dalam-dalam anggapan masyarakat bahwa, ‘perempuan harus cepat menikah, kalau tidak mau jadi perawan tua’. Stigma yang kerap kali membuat pikiran menjadi negatif, umumnya berasal dari lingkungan terdekat. Membunuh dengan kata-kata jauh lebih menyakitkan dibanding membunuh dengan sebilah pisau di tangan. Cepat atau lambat, memang perempuan akan menikah. Hanya saja, tidak perlu terlalu terburu-buru, terlebih perihal menikah. Menikah itu tidak hanya sekedar mengucap, “saya terima nikahnya…”, ada sisi tanggung jawab yang harus dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Perempuan yang jauh memikirkan kematangan emosianal maupun kesiapan secara finansial, tidak terlalu mementingkan cibiran orang lain perihal stigma yang masih membabi buta. Justru sibuk memperbaiki dirinya sebagaimana mempersiapkan bekal, layaknya perempuan pantas bersanding dengan pasangannya kelak. Tanpa diburu waktu, di kejar waktu, dan di hambat waktu.