Denny JA
Data dunia itu kembali menyentak.
Top 10 negara yang paling bersih korupsi diukur dengan CPI (Corruption Perception Index) tahun 2019 (terbit tahun 2020), mayoritas warganya tak menganggap agama penting dalam hidupnya (diukur dengan Gallup Poll, 2009).
Sementara negara yang mayoritas warga anggap agama sangat penting justru berujung para pemerintahan yang tinggi level korupsinya.
Dua pertanyaan penting lahir sekaligus.
Pertama, mengapa agama tak menjadi variabel penting mengikis korupsi? Bukankah agama banyak bicara soal moral? Bukankah korupsi itu sejelas jelasnya pelanggaran moral publik? Pelanggaran amanah jabatan publik?
Kedua, mengapa untuk kasus negara yang berhasil membuat pemerintahannya bersih, mayoritas publik tak menganggap agama penting dalam hidupnya? Apakah ada sumber moralitas yang lebih modern dan mengakar di luar agama?
-000-
Kita mulai dengan data. Analisa harus bersandar pada data.
Sejak tahun 1993, sebuah lembaga bernama Transparancy International mendedikasikan diri perang melawan korupsi. Elit bisnis, Civil Society dan Pemerintahan menjadi kunci perang suci ini.
Lembaga ini mendefinisikan korupsi sebagai “the misuse of public power for personal gain.” Disalah gunakannya jabatan publik untuk keuntungan personal.
Buruknya efek korupsi bagi kemajuan bangsa sangatlah jelas. Dana untuk kemajuan bersama, dana milik publik, diselewengkan oleh korupsi berjemaah yang hanya memperkaya sekompok. Mereka menghianati kepercayaan publik karena merugikan orang banyak.
Oleh sebagian negara, korupsi bahkan dianggap sebagai extraordinary crime. Kriminal apa lagi yang lebih jahat dari penyelewengan yang merusak kesejahteraan orang banyak?
Sejak tahun 1995, Transparancy Internasional mempublikasi riset atas ranking korupsi aneka negara di dunia.
Metodelogi penilaian korupsi terus diperbaharui. Ketika esai ini ditulis, laporan Transparancy Internasional mutakhir diterbitkan di tahun 2020.
Formula rangking korupsi disusun berdasarkan indeks yang disebut Corruption Perception Index (CPI). Ini gabungan dari expert judgement, penilaian ahli dan survei opini publik.
Di tahun 2020, lembaga ini mendaya gunakan data sekunder 12 lembaga. Antara lain: Economist Inteligence Unit, World Bank, World Economic Forum, Freedom House dan World Justice Project.
Untuk perbandingan, hasil dari index itu adalah angka 0 hingga 100. Semakin mendekati 100, negara itu semakin bersih. Semakin mendekati 0, negara itu semakin korupsi.
-000-
Laporan tahun 2020, Transparancy Internasional mengeluarkan rangking korupsi untuk 179 negara.
Di bawah ini list Top 10 negara paling bersih dari korupsi, berikut scorenya.
1. New Zealand (87)
2. Denmark (87)
3. Finland (86)
4. Singapore (85)
5. Switzerland (85)
6. Sweden (84)
7. Norway (82)
8. Netherland (82)
9. Luxembourgh (80)
10. Germany (80)
Kembali negara yang dominan bersih, sebagaimana negara yang warganya paling bahagia (world Happiness Report), adalah negara skandinavia (Nordic Countries).
-000-
Kini data dunia korupsi itu, kita padukan dengan data persepsi pentingnya agama bagi warga negara.
Dalam esai sebelumnya, sudah diterangkan, Gallup Poll 2009 membuat riset untuk 149 negara.
Riset itu hanya mengeksplor satu pertanyaan saja: “apakah agama itu penting dalam hidupmu sehari- hari? Is religion important in your daily life?
Jawabnya pun hanya Yes or No. Sebagian sangat kecil responden tak menjawab.
Maka tersajilah peta negara dunia berdasarkan seberapa penting agama bagi warga negara.
Ada negara yang 90 persen atau lebih warga menganggap agama itu penting dalam hidupnya. Ada negara yang hanya 20 persen atau kurang warga yang anggap agama penting dalam hidupnya.
-000-
Sekarang kita padukan data itu. Untuk Top 10 negara paling bersih dari korupsi, seberapa penting agama itu bagi warga negara di sana.
Di bawah ini list Top 10 negara yang paling bersih korupsi. Dalam tanda kurung adalah prosentase pentingnya agama dalam hidup mereka.
1. New Zealand (33 persen)
2. Denmark (19 persen)
3. Finland (28 persen)
4. Singapore (70 persen)
5. Switzerland (41 persen)
6. Sweden (15 persen)
7. Norway (22 persen)
8. Netherland (33 persen)
9. Luxembourgh (39 persen)
10. Germany (40 persen).
Wow! Aha! Bagaimana bisa?
Pada negara yang paling bersih korupsi, warga negara di sana tak menganggap agama penting. Bahkan di Swedia, hanya 15 persen warga di sana mengangap agama penting.
Satu satunya negara dalam Top 10 negara di atas hanya Singapura: 70 persen, yang mayoritas anggap agama penting.
Jika dibuat rata- rata, di Top 10 negara tersebut, hanya 34 persen warga menganggap agama penting. Jauh lebih banyak menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya.
Bagaimana dengan level korupsi negara yang mayoritas warga menganggap agama penting.
Di bawah ini list negara itu. Dalam kurung berturut nama agama mayoritas. Lalu berapa persen warga negara menganggap agama penting. Kemudian, data rangking kebersihan pemerintahannya.
1. India (Hindu, 90 persen, 80)
2. Philipines (Katolik, 96 persen, 113)
3. Arab Saudi (Islam, 93 persen, 51)
4. Thailand (Budha, 96 persen, 101)
5. Indonesia (Islam, 97 persen, 85)
Dari 179 negara yang diukur, lima negara di atas hanya nangkring di papan tengah, hingga papan tengah bawah. Baik yang mayoritas Hindu, Katolik, Budha, Islam, kebersihan pemerintahannya buruk.
Di India, misalnya, asal agama Hindu, yang 90 persen warga anggap agama penting dalam hidupnya, level korupsinya di level 80 dari 179 negara yang diukur.
Philipina, yang 96 persen penduduknya merasa agama sangat penting, korupsinya di level 111.
Tak besar efek keyakinan agama kepada moralitas publik seperti korupsi, dapat dilihat untuk kasus Indonesia. Di negara kita, 99 persen anggap agama penting dalam hidup. Korupsinya di level 85.
Bahkan ditenggarai, departemen agama di Indonesia justru departemen paling korup (3) . Bagaimana bisa? Kementerian untuk menyampaikan pesa agama yang suci justru paling korup?
Bahkan tiga menteri agama indonesia era reformasi dipenjara karena korupsi (4).
-000-
Bagaimana menjelaskan fenomena di atas? Apa yang dapat kita pelajari dari data yang membuka mata?
Pertama, moral publik di pemerintahan TIDAK ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Tapi korupsi itu lebih ditentukan oleh manajemen modern.
Manajemen modern untuk korupsi itu berdiri di atas prinsip: kontrol internal pemerintahan yang efektif. Hadirnya lembaga pelacak korupsi. Bebasnya investigasi oleh media dan civil society. Rule of law dan sanksi hukum kepada koruptor. Dan kuatnya etik pemerintahan.
Manajemen modern, bukan agama, yang membuat pemerintahan bersih. Jika ingin menegakkan moralitas publik, rekomendasinya: tambahkan dosis manajemen modern. Bukan tambahkan dosis agama di ruang publik.
Kedua, agama bukanlah satu satunya sumber moralitas publik. Apalagi agama yang ditafsir secara sempit, yang ingin memonopoli surga hanya bagi kelompoknya.
Apalagi kini hadir 4300 agama pula yang berbeda-beda.
Terbukti 9 dari top 10 negara paling bersih tingkat korupsi, mayoritas menganggap agama tak lagi penting dalam hidupnya.
Lalu jika bukan agama, apa sumber moralitas itu?
Homo sapiens sudah berusia 300 ribu tahun. Agama dominan masa kini hanya berusia paling jauh 3000 tahun.
Sebesar 300 ribu tahun dikurangi 3000 tahun, artinya 99 persen dari usia homo sapiens sudah hidup tanpa agama yang ada sekarang.
Renungan baik dan buruk dalam rangka survival sudah hidup dalam DNA manusia sejak lama. Bahkan sebelum agama yang dominan sekarang hadir.
Prinsip baik dan buruk itu tersimpan lebih kuat dalam akal budi manusia modern. Walau tak meyakini agama, prinsip benar dan salah itu tetap menyala.
Fakta menunjukkan itu. Di Denmark, atau Swedia, hanya di bawah 20 persen menganggap agama penting dalam hidupnya. Toh mereka berhasil menegakkan pemerintahan yang bersih korupsi. Ini ruang publik yang sangat bermoral.
Apakah ini berarti peran agama tak lagi penting di zaman modern? Jawabnya: tergantung bagaimana agama itu ditafsirkan.
Jalaluddin Rumi sangat populer di dunia barat karena ia menafsirkan agama secara universal. Tafsirnya menyatukan manusia, bukan membelah. Tafsirnya mengajak pada kedalaman: mengontrol kebersihan prilaku dari dalam.
Tafsir agama jenis Jalaluddin Rumi ini tak hanya membawa kebahagiaan otentik bagi individu. Tapi tafsir ini juga fungsional bagi ruang publik di dunia modern, yang semakin netral dari dominasi satu agama.*