Tradisi “Tahlilan” dan (Nuansa) Politisnya

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Sang kiai itu tiba-tiba menyita perhatian seluruh jamaah Jumat. Pasalnya, pada saat menjadi imam salat mingguan itu, sesaat setelah salam tiba-tiba berdiri di hadapan jamaah yang masih rapi dan belum berkurang satu pun. Para jamaah waktu itu mungkin bertanya dalam hati, masalah penting apa gerangan yang akan didawuhkan sang kiai. Ternyata setelah mengucapkan salam pembuka kepada seluruh jamaah, sang kiai merespon sebagian materi khotbah yang dipidatokan sang khatib. Khotbah yang bertujuan memuji kearifan para wali songo dalam mengislamkan masyarakat Jawa yang kabanyakan Hindhu itu, mendapat reaksi sedikit keras dari sang kiai. Menurut khatib islamisasi yang dilakukan para wali terhadap masyarakat Jawa berlangsung secara damai karena para wali telah berhasil ‘mengawinkan’ budaya Hindu dengan ajaran Islam. Salah satu budaya Hindu tu adalah tradisi selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari untuk orang meninggal yang kemudian diisi dengan tradisi tahlilan. Selamatan tetap dipertahankan tetapi diisi dengan bacaan-bacaan kalimah thoyyibah (tahlil, tasbih, dsb).

Menurut kiai pendapat itu kurang tepat. Itulah sebabnya beliau perlu meluruskan. Tradisi tahlilan disusul “slametan”(Jw) setelah orang meninggal pada hari ke-3 dan seterusnya merupakan ‘ajaran Islam’ karena telah ditulis oleh para ulama dalam berbagai kitab, bukan meniru tradisi Hindhu. Di mata kiai, sang khatib muda itu di samping menyampaikan materi khotbah yang salah, mungkin dianggap sebagai orang yang “kurang piknik”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata piknik berarti tamasya, bepergian ke suatu tempat di luar kota untuk bersenang-senang dengan membawa bekal makanan dan sebagainya. Tetapi “kurang piknik” di sini dimaksudkan “kurang wawasan”. Dengan kalimat lain, khatib tadi dengan penjelasan yang disampaikan dalam khotbah, dianggap kurang membaca referensi yang cukup.

Menurut Professor Zainudin (Guru Besar UIN Malang), sebagaimana ditulis dalam artikelnya berjudul “Tahlilan Dalam Perspektif Historis, Sosiologis, Psikologis, Antropologis”, kata “tahlilan”, atau “tahlil”, kedua kata itu sama saja artinya karena sama-sama dari kata Arab (hallala-yuhallilu-tahlilan) yang berarti membaca kalimat “la ilaha illa Allah”. Tahlilan kemudian menjadi tradisi yang mengakar di kalangan masyarakat muslim Indonesia, khususnya bagi masyarakat nahdhiyyin, NU. Tahlilan menjadi aktivitas rutin setiap malam Jum’at, dan pada momen-momen khusus, misalnya kirim doa untuk keluarga yang sudah wafat, dikemas secara berjama’ah dalam suatu majelis.(https://uin-malang.ac.id).

Tradidisi Yang Melembaga
Khusus untuk orang meninggal tahlilan di samping dilakukan pada acara 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari juga dilakukan pada seminggu pertama berturut-turut pada setiap malam setelah meninggalnya seseorang. Terlepas ada sebagian umat Islam yang tidak sependapat, tradisi demikian tampaknya sudah melembaga di sebagian besar masyarakat. Bahkan, bagi masyakat dengan predikat “Islam KTP” sekalipun. Hanya dengan diumumkan oleh “imam” di tempat pemakaman, baik yang mendengar langsung atau mendengar dari mulut ke mulut, para tetangga secara berduyun-duyun ke rumah duka. Berapa jumlah mereka yang datang bisa bervariasi, tergantung relasi mayit sebelum meninggal dan/ atau ‘kewibawaan’ keluarganya. Sebagai pihak yang merasa dibantu mendoakan, keluarga almarhum biasanya menyiapkan hidangan jamuan yang bentuknya juga bisa bervariasi. Di luar malam ke-3, ke-7, dst biasanya hanya menghidangkan makanan ringan, tetapi pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, apalagi malam ke-1000 hari, biasnya berupa makanan berat sekaligus “berkat selamatan”. Kualitas dan kuantitas jamuan, termasuk kenduri (berkat) yang dibawakan pulang untuk para peserta juga bisa bisa berupa dari yang sederhana sampai mewah. Tergantung kondisi ekonomi keluarga.

Tradisi bertahlil ria ini melembaga memang tidak lepas dari peran tokoh agama yang secara masif melakukan dakwah, baik melalui kajian kitab-kitab di pesantren maupun melalui pengajian umum dan rutin khusus. Dengan sejumlah dalil agama dan keberhasilan mengilustrasikan kehidupan alam setelah kematian, banyak masyarakat yang melaksanakan acara tahlilan bukan atas tekanan, melainkan atas kesadaran sebagai panggilan ajaran agama sehingga menjadi kebutuhan yang harus dilaksanakan. Kalau tidak melaksanakan even tahlilan pada saat ada peristiwa kematian, selain merasa bersalah, juga merasa bersalah dengan si mayit.
Dalam perkembangan berikutnya, tampaknya masyarakat merasa harus melaksanakan tradisi yang sudah melembaga ini karena sudah merasa terikat dengan sistem sosial kemasyarakatan. Akibatnya, jika ada masyarakat yang tidak malaksanakan dianggap melanggar komitmen. Meskipun tidak tertulis dalam dokumen apa pun, kemudian secara diam-diam pada umumnya merasa sungkan dengan tetangga atau anggota masyarakat lainnya, jika tidak mengadakan tahlilan. Tahlilan yang semula berupa panggilan pribadi berubah menjadi panggilan sosial. Rasa sungkan semula hanya tertuju kepada Allah dalam perkembangan menjadi sungkan kepada manusia. Pada saat yang sama variasi jamuan dan kualitasnya sering juga menjadi sorotan. Dalam aspek ini, bagaimana keluarga mayit juga sering tidak mau kehilangan muka, ketika harus menjamu atau memberikan hidangan tahlil yang menyebabkan timbulnya gunjingan negatif. Sikap memaksakan diri untuk memberikan hidangan terbaik kepada peserta tahlilan, akhirnya menjadi keharusan yang memberatkan bagi sebagian masyarakat yang kurang mampu. Motivasinya, malu dengan tetangga, atau takut menjadi gunjingan masyarakat.

Fenomena itulah termasuk yang menjadi sorotan orang Islam yang tidak sependapat atau bahkan anti dengan tradisi tahlilan. Tapi sebenarnya, kata K.H. Bahaudin Nursalim, mereka sebenarnya bukan tidak setuju dengan pengucapan kalimat tahlil, yaitu lafadz “lailaha illllah”. Bahkan, kata kiai yang akrab dipanggil Gus Baha ini, perdebatan mengenai tahlilan sebenarnya bukan terletak pada masalah sampai atau tidaknya doa orang yang hidup kepada orang yang sudah mati, tetapi lebih kepada cara pandang terhadap praktik tradisi tahlilan yang dikemas dalam bentuknya yang sekarang.

Menciptakan Tokoh Informal
Tidak jarang tradisi tahlilan tampaknya juga telah berhasil mengorbitkan tokoh informal masyarakat karena dianggap piawai memimpin setiap even demikian. Masyarakat setempat menjadi sangat tergantung dengan kehadiran tokoh informal ini. Di sinilah awal mula munculnya apa yang sering disebut “kiai kampung”. Di antara mereka memang ada yang mempunyai ilmu agama mumpuni–karena berbasis pendidikan pesantren–tetapi ada juga yang sekedar karena hafal dengan baik dan lancar dalam memimpin tahlilan. Bahkan tokoh informal ini tidak jarang kemudian menjadi menjadi besar dan mempunyai nilai tawar pada saat musim-musim perhelatan politik, seperti pilkades, pilkada, atau bahkan pileg dan pilpres. Dengan posisinya demikian, tidak jarang di anatara mereka ada yang menjadikan masyarakat setempat sebagai basis politik yang siap dijual. Para politisi pun kemudian sangat tahu dengan ‘harga’ yang harus dibayar demi mendapatkan simpati politik berupa suara.
Dengan gambaran di atas, maka tidak mengherankan jika ada yang bilang bahwa forum-foru
m tahlilan bisa menjadi panggung politik, baik panggung politik formal maupun informal. Panggung politik formal, seperti yang diasosiasikan dengan kegiatan politik praktis Sedangkan panggung politik informal, seperti saling ‘berebut’ pengaruh antar sesama tokoh masyarakat setempat yang ada. Yang pasti keasyikan para tokoh agama ‘berpanggung’ politik di forum-forum kemasyarakatan ini, seperti tahlilan, kemudian membuat mereka lupa melakukan refleksi tentang kondisi riil masyarakatnya yang sejatinya sangat heterogen. Mereka lupa atau pura-pura tidak tahu, bahwa masyarakatnya ada yang kaya, ada pula yang kurang mampu, bahkan ada yang sangat susah karena sangat kesulitan membeli beras. Uang duka receh dan beras yang terkumpul dari pelayat (pentakziah) jelas sangat tidak cukup untuk membiayai tradisi tahlilan sampai hari ke-40 apalagi sampai hari ke-100 dst. Hanya saja selama ini, dalam pengamatan penulis, belum ada sikap kepekaan sosial sekaligus empati dari para tokoh yang merespon fenomena tersebut. Lantas, sampai kapan? Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait