(Refleksi tentang Pernikahan Dini)
Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Alya, bukan nama sebenarnya, siang itu tampil trendi, seperti kebanyakan perempuan muda kota masa kini. Tubuh mungil yang dibalut celana jean ketat sedikit di bawah lutut, terlihat dengan jelas bagaimana kualitas betis yang dulu secara illegal pernah dikonteskan di salah satu kota besar Indonesia. Kaos oblong plus jaket terbuka yang dikenakan, jelas memberikan info secara tidak langsung berapa BB (berat badan) ideal yang ia miliki. Kalimat-kalimat berikut selanjutnya, tentu bukan bermaksud menggambarkan sosok perempuan sebuah tokoh cerpen layaknya karya seorang satrawan. Tetapi hanyalah sebuah gumaman tentang seorang ibu muda beranak tiga namun masih sangat belia.
Ibu itu harus disebut sebagai ibu muda karena, sesuai data resmi yang ada, tercatat masih berusia 25 tahun. Masalah berikutnya bukan terletak dengan bilangan usia tetapi, untuk seusia itu sudah melahirkan 3 orang anak, yang anak pertamanya sudah berusia 9 tahun. Dari kelahiran anak pertama, kita dapat menghitung, pada usia berapa dia menikah. Dari jejak usia itu dikatahui, bahwa ia menikah saat masih berusia sekitar 16 tahun, sebuah ukuran usia minimal seorang boleh menikah menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 sebelum amandeman. Wajah imutnya yang, kata teman saya mirip mantan model majalah dewasa Alya Rohali yang kini berhijab itu, sesekali masih terlihat singkron dengan setiap gerak geriknya yang masih menyisakan sedikit kekanak-kanakan.
Sidang perceraian yang dihelat pengadilan, yang melibatkan Dia dan suamiya, memang berjalan ‘mulus’. Pasalnya, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut oleh petugas pengadilan 2 kali berturut-turut. suaminya telah tidak hadir dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya di persidanagan serta ketidakhadirannya bukan disebabkan oleh suatu alasan yang sah. Pemeriksaan perkara pun akhirnya harus dilaksanakan tanpa kehadiran suaminya. Salanjutnya setelah tahapan pemeriksaan selesai, pengadilan pun menjatuhkan putusan verstek dengan mengabulkan gugatan perceraaian ibu muda itu. Putusan ini selanjutnya akan diberitahukan kepada suaminya. Dan, terhitung 14 hari sejak setelah suaminya menerima pemberitahuan putusan, apabila tidak ada upaya hukum, putusan tersebut otomatis akan berkekuatan hukum tetap. Sejak saat itu pula secara resmi status janda (muda) akan disandangnya sebab pada kasus perkara cerai gugat perceraian dihitung sejak saat putusan pereraian berkekuatan hukum tetap. Berbeda dengan cerai talak (pereraan yang diajukan oleh suami), perceraian terjadi sejak suami mengikrarkan talaknya di sidang pengadilan agama.
Tetapi bagi pengadil dan kita sebagai pengamat, tentu bukan persoalan mulus atau tidak mulusnya jalannya pemeriksaan, tetapi justru episode hidup yang akan terjadi pascapercaraian. Dengan usia yang masih belia dengan beban 3 orang anak yang, kata orang jawa masih “semego” itu pasti merupakan persoalan tersendiri. Kedua orang tuanya, harus siap menaggung beban ekonomi janda muda ini. Usia orang tua menjelang renta yang mestinya harus mulai pensiun dari pikiran-pikiran domestik duniawi, harus kembali ke belakang dengan kerja keras mengasuh sang cucu seperti mangasuh ibunya dulu. Pada saat yang sama, menjadi janda muda juga tidak mudah. Dia perlu waspada dengan dinamika kehidupan di luar dengan segala perniknya. Iming-iming kehidupan surgawi saat kepribadiannya berada di tengah kegamangan hidup sering tanpa disadari atau bahkan membuatnya nekat menjerumuskan diri ke dunia hitam. Lagu “kupu-kupu malam” karya Titik Puspa sebenarnya dibuat untuk memotret kehidupan para wanita demikian.
Pernikahan dini yang ramai dibicarakan orang di ruang publik itu sampai sekarang masih belum mendapatkan jurus ampuh mencegahnya. Sehingga, tampaknya masih terus pantas dibicarakan. Apa yang terjadi pada Alya hanyalah salah satu contoh kasus dari sekian dampak terjadinya pernikahan dini. Banyak yang membicarakan tetapi masih banyak pula kasus terjadi. Data kasar dari perkara dispensasi kawin pascaamandeman UU Nomor 1 Tahun 1974 hampir semua Pengadilan Agama di seluruh wilayah RI menerima rata-rata 1000 persen (bukan hanya 100 sersen). Perubahan perubahan umur wanita dari 16 tahun ke 19 tahun sebenarnya hanya selisih 3 tahun, tetapi mengapa berhasil mendongkrak angka perkara dispensasi dengan sangat sginifikan. Dari data demikian, dapat kita simpulkan, bahwa kehendak menikah pada usia 16 tahun sampai 19 tahun, khususnya bagi wanita, luar biasa besar. Kita tentu belum mempersoalakan kematangan calon mempelai pria yang nota bena akan berfunsi sebagai kepala rumah tangga. Dengan calon ibu yang masih anak-anak dan belum matang lantas menikah dengan calon suami yang belum matang pula, kitapun punya alasan logis untuk tidak berharap terlalu banyak kepada pasangan pengantin itu saat membangun rumah tangga.
Jika ada jargon “wanita tiang negara”, tentu kita tidak bisa berharap terlalu banyak terhadap wanita yang ketika masih muda sudah menjadi janda dengan segala beban hidup yang dimiliki. Jika undang-undang memberikan kedudukan para suami sebagai kepala rumah tangga, bagaimana mungkin peran itu bisa diharapkan dari pria belia yang masih belum matang berumah tangga. Pendek kata, pernikahan dini memang terus diasumsikan sebagai salah satu penyebab problem sosial. Dan, pada skala yang lebih besar, jika ketahanan keluarga menjadi modal ketahanan bangsa dan negara, maka pernikahan dini yang rapuh itu, tentu dapat menjadi rapuhnya sebuah bangsa dan negara. Hanya saja concern kita terhadap maraknya pernikahan dini agaknya hanya belum sampai mengidentifikasi akar persoalan yang menjadi penyebabnya. Justru, secara serampangan ada yang mengkambing hitamkan pengadilan (agama) . Alasannya, pengadilan adalah pintu terakhir. Jika pengadilan mau menolak pernikahan dini ini pasti tidak terjadi. Yang beranggapan demikian ini pasti belum tahu seluk beluk bekerjanya pengadian.
Tampaknya, banyak orang lupa, bahwa akar pesoalan mengapa terjadinya pernikahan dini sangat terkait dengan bebarapa aspek, antara lain kultur, pendidikan, tingkat kesejahteraan,. Selebihnya karena faktor ‘kecelakaan’, seperti terlanjur hamil. Sebagai contoh, anak dengan orang tua yang eknominya mapan, pasti cenderung ingin berpendidikan dengan strata setinggi-tingginya. Kematangan seksual (alat-alat reproduksi) tidak serta menyeretnya ke jenjang perkawinan. Keasyikan belajar di perguruan tinggi, bertemu dengan teman dari berbagai kota dan cita-cita akan masa depan cerah, menjadi obsesi yang sering dapat melupakan hal-hal berbau seksualitas. Pada saat yang sama ada daerah yang masih merasa tabu jika mempunyai anak yang sudah akil baligh belum ada tanda-tanda mendapatkan jodoh. Tanda akil baligh sering hanya dimaknai sebagai kematangan alat reproduksi, dan bukan kematangan jiwa dan kepribadian. Ada juga menikahkan anak hanya motif finansial, seperti biar dapat ‘mengunduh’ uang arisan yang telah diinvestasikan ke saudara, teman, dan masyarakat lain.
Ilustrasi di atas hanya dimaksudkan sedikit memberikan gambaran, bahwa penyebab terjadinya pernikahan dini tidak sesederhana yang kita bayangkan. Identifikasi kasus perlu kita lakukan. Oleh karena itu, upaya pencegahannya juga harus melibatkan semua unsur, mulai dari hulu sampai hilir. Yang berkompeten di hilir siapa dan yang di hulu siapa, sampai sekarang juga belum ada “job description” yang jelas, selain hanya menyalahkan pengadilan agama. Padahal, mencegah pernikahan dini harus menjadi concern semua lini lembaga-lembaga yang ada. Di bawah instansi terkait dari pusat sampai unit terkecil tangan negara (RT/RW), semua lembaga-lembaga yang ada itu harus kompak dalam memandang ‘makhluk’ bernama “pernikahan dini”. Tanpa kekompakan mustahil pernikahan dini bisa dieliminasi. Tidak seperti sekarang, tugas tersebut seolah hanya menjadi tugas pemerintah atau pengadilan agama. Saat pemerintah berkoar-koar dan membuat regulasi agar tidak sampai terjadi pernikahan dini, justru ada uknum ustad yang dengan penuh keyakinan bilang, bahwa pernikahan adalah salah satu ajaran agama yang pelaksanaannya harus disegerakan, seperti mengurus jenazah dan membayar hutang. Luar biasa ……!
Wallahu A’lam.