Tragedi Berdarah 1965 Semakin Terang Benderang

  • Whatsapp
Tragedi berdarah 1965 semakin terang benderang

Jakarta, beritalima.com| – Buku berjudul “1965, Indonesia dan Dunia”, diterbitkan untuk edisi keduanya baru-baru ini, dimana pesan yang disampaikan dalam buku ini memperlihatkan, tragedi berdarah pada Oktober 1965 dan beberapa tahun setelahnya, semakin terang benderang terkuak kisahnya.

Buku yang diterbitkan hasil kerjasama Geothe Institut dan Gramedia,, edisi pertamanya diluncurkan pada 2013 dengan editor Bernd Schaefer (peneliti dari Wilson Center’s Cold War International History Project di Washington DC, Amerika Serikat) dan Baskara T. Wardaya (dosen Pusdep Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

Terbit dengan dua Bahasa (Indonesia dan Inggris), buku setebal 459 halaman ini sarat dengan informasi ilmiah dilengkapi dengan sumber kepustakaan sangat kuat, meneropong peristiwa di akhir September 1965 dan seterusnya (di Indonesia dikenal dengan Gerakan 30 September), baik dari situasi di dalam negeri Indonesia ketika itu plus kondisi internasional yang mempengaruhinya.

Beberapa penulis di dalamnya, kombinasi antara peneliti lokal dan internasional. Ada Bradly Simpson, menelaah peran Amerika Serikat dan dimensi internasional saat terjadi pembunuhan massal di Indonesia; John Roosa, mengulas perencanaan pembunuhan massal dan melemparkan tuduhan palsu kepda komunis; Jovan Cavoski terkait situasi jelang Kudeta dan peran Indonesia diantara Gerakan Non Blok dan RRC; Ragna Boden soal peran Moskow ketika pembantaian di Indonesia; Heinz Schutte tentang peristiwa 30 September dampaknya bagi media Prancis; Richard Tanter soroti media Australia terhadap pembunuhan massal di Indonesia; Pengalaman Franz Magnis-Suseno saat 1965-1966; serta beberapa komentar dari Yosef Djakababa dan Natalia Soebagjo.

Intinya, ulasan buku ini melihat dari perspektif lain soal peristiwa 1965, khususnya dampak pembunuhan massal yang menurut beberapa sumber menembus angka hingga lebih satu juta jiwa meninggal dunia (terutama di Jawa dan Bali). Sedihnya, pembunuhan massal terhadap masyarakat yang dicap komunis (atau Kiri), terjadi dengan sistematis, melibatkan aparat keamanan dan masyarakat (setelah dihasut).

Setelah 1965, tulis editor buku, ada lebih banyak lagi orang Indonesia yang dipenjara (mayoritas tanpa proses hukum), kehilangan pekerjaan dan harta benda, dan didiskriminalisasi oleh penguasa pemerintahan selama beberapa dekade berikutnya. Buku ini membawa kita untuk membuka lembaran sejarah dalam situasi 60 tahun silam, siapa saja pelaku tragedi berdarah 1965, siapa yang menjadi korban, bagaimana peran beberapa negara asing yang ikut campur di Indonesia mengingat situasi internasional saat itu dalam era Perang Dingin (blok Barat dari Amerika Serikat versus Timur dari Uni Soviet)

Baskara T Wardaya memaparkan, masyarakat harus melihat tragedy kemanusiaan pada 1965 dan setelahnya secara lebih kritis terhadap narasi resmi yang datang dari Pemerintah. “Catatan sejarah mengenai tragedi 1965 dari pihak non-pemerintah pada gilirannya diharapkan akan membantu rakyat Indonesia untuk memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai sejarah mereka sendiri. Ini akan memungkinkan mereka mengatasi masa silam yang sarat beban, demi kepentingan masa kini dan masa depan bangsa Indonesia,” saran Baskara.

Selama puluhan tahun, masyarakat kita jelang 30 September, selalu diputar film penghianatan G30S/PKI versi Pemerintah. Membaca buku “1965: Indonesia dan Dunia”, kita akan diajak merenung dan berfikir kritis untuk menata sekaligus menatap masa kini juga masa depan bangsa.

Jurnalis: abriyanto

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait