Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Ibarat sebuah perhelatan, pertandingan sepak bola di musim liga ini, termasuk di Stadion Kanjuruan Malang baru lalu, ada 4 komponen institusi yang punya hajat, yaitu : 1. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), 2. PT Liga Indonesia Baru (LIB), 3. Panitia pelaksana (panpel) pertandingan sepak bola, 4. Pihak pemilik hak siar. Sehingga tidak mengherankan jika keempat kelompok itu pula yang tampak merasa harus membuat ‘laporan’, bahwa masing-masing merasa tidak bersalah atas peristiwa hitam persepak bolaan Indonesia ini. Korban sejumlah 131 orang meninggal dan ratusan luka-luka sepertinya sama-sama bukan kesalahan utama masing-masing. Prof. Mahfud MD–selaku selaku Ketua TGIPF (Tim Gabungan Independen Pencari Fakta), seperti yang disampaikan kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/10)–malah menyebut bahwa keempat komponen institusi tersebut “saling lempar tanggung jawab”.
Meskipun masih simpang siur siapa yang paling bertanggung jawab terhadap peristiwa yang menginternasional itu, semua sepakat bahwa peristiwa itu, di samping sama-sama tidak kita inginkan, juga terjadi di luar perkiraan empat kelompok tersebut. Ketidakhadiran suporter Persebaya sehingga pertindandingan dilakukan pada malam hari adalah sebuah optimisme seluruh masyarakat bola, bahwa pertandingan malam itu diharapkan menjadi sebuah konser besar yang memukau sekaligus hiburan malam yang aman bagi masyarakat setempat dan tentunya para suporter tim “ongis nade” (singo edan). Hanya pada waktu malamlah semua masyarakat bola setempat bisa berpeluang menghadiri suguhan hiburan masal itu. Berbeda jika pertandingan itu dilakukan siang hari, para buruh pabrik, para PNS, dan yang siang harus bekerja seharian tentu tidak bisa melihat secara utuh. Pada malam hari itulah masyarakat dapat menyaksikan perbedaan temaram lampu jalanan dengan terangnya cahaya stadion berkat penerangan lampu jutaan mega watt. Angin malam yang semilir nan sejuk juga akan semakin menambah kesyahduan kempul bareng bersama orang-orang tercinta sambil menikmati aksi Ahmad Al Farizi dan kawan-kawan beradu kelihaian mengocek bola melawan tim legendaris Persebaya.
Di luar dugaan siapa pun, perhelatan dengan ekspektasi tinggi sebagai sebuah tontonan menarik itu, harus berakhir dengan tangis nan pilu yang membahana dan masih terasa sampai sekarang. Sejumlah 131 nyawa melayang dan ratusan luka-luka. Empati kemanusiaan kita pasti ikut merasakan duka nestapa ini.
Dunia pun berduka. Apalagi mengenai jumlah korban yang disiarkan media asing melebihi jumlah yang diberitakan media mainstream versi Indonesia. Jepang, sebagaimana dikutip sultra.antara news.com (3 Oktober 2022) menyebut korban meninggal 170 orang. Bahkan pada kesempatan lain menyebut angka 174 orang. Menurut pantauan Antara tragedi naas ini disiarkan sejumlah saluran TV Jepang di antaranya TV Tokyo, ANN News, dan NHK. Presidan FIFA Gianni Infantino (Giovanni Vincenzo Infantino) menunjukkan simpati mendalam. Ucapan bela sungkawa pun terucap dari mulut pimpinan tertinggi organisasi sepak bola dunia asal Italia–yang mulai menjabat sejak 26 Februari 2016–ini. Malah menurut rencana, dalam rangka ‘membantu’ persepakbolaan nasional, pria kelahiran 23 March 1970 juga akan mengunjungi Indonesia. Sebagai puncaknya di kantor pusat induk organisasi olah raga si kulit bundar yang berada di Zurich SWISS ini pun akhirnya dikibarkan bendera setengah tiang. Jika saat ini ada 211 negara anggota FIFA berarti juga ada 211 bendera yang hari itu dikibarkan setengah tiang sekedar merespon tragedi Kanjuruan itu.
Ilustrasi ini dikemukakan dengan harapan mengedukasi kita, bahwa peristiwa apapun mengenai bola tanah air ternyata dipantau dunia internasional termasuk perilaku para suporter. Mengapa suporter perlu kita sebut? Selama ini tampaknya banyak suporter yang masih awam mengenai hal ini. Ada sebagian (oknum) suporter yang datang hanya ingin melihat tim jagoannya menang. Jika kemudian ternyata kalah, mereka membuat ulah. Sudah berapa kerusakan dan kerugian harta benda, bahkan kadang-kadang nyawa, akibat ulah oknum ini. Anarkisme penonton dan kesalahan tindakan aparat mengatasinya ternyata lebih mudah mendatangkan “balak” (musibah) dari dunia internasional dibanding menaikkan peringkat team pada daftar level kesebelasan dunia.
Untung saja segera setelah peristiwa itu pemerintah di bawah komando presiden langsung segera mengambil langkah-langkah penting meresponnya. Kalau tidak pasti Negara dianggap tidak bertanggung jawab terhadap olah raga sepak bola. Pada akhirnya bisa saja Indonesia terkena sanksi tertentu oleh FIFA. Kalau ini terjadi, kerugian tidak hanya menimpa para pemain tetapi berbagai aspek akan terkena dampaknya, termasuk para pedagang asongan yang biasa mengais rizki saat ada pertandingan sepak bola.
Sangat patut disayangkan kalau pada saat duka ini masih ada pihak tertentu yang saling tuding mencari kambing hitam. Dalam kasus Kanjurun ini, menunjuk kelompok tertentu sebagai penyebabnya hanya akan menambah kelam tragedi memilukan ini. Secara moral kita perlu legowo, bahwa tragedi itu adalah tragdi kita dan kita pula yang membuatnya. Mengatakan demikian tentu berat. Akan tetapi jika kita ingin menjadi bangsa yang besar kita memang perlu sportif dengan asumsi: bahwa merasa salah belum tentu salah. Tetapi jika semua pihak mau bersikap demikian setidaknya bibit konfrontasi yang berpotensi menjadi masalah baru, dapat dieliminasi.
Secara hukum telah ada institusi yang bekerja menangani kasus. Sejumlah langkah telah diambil untuk meresponya. Bahkan respon tersebut sebagian mungkin ada yang dirasa pahit oleh pihak tertentu. Mereka yang terkena konsukeunsi harus pula legowo bahwa apa yang menimpa adalah sebuah konsekuensi tugas dan jabatan yang secara moral belum tentu salah tetapi harus dianggap salah. Yang pasti meskipun secara hukum dianggap salah tetapi yakinlah bahwa hukum ditegakkan hanya berdasarkan bukti-bukti. Di belakangnya hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari keterbatasan. Oleh karena pengetahuan manusia tidak sempurna maka apa yang dianggap salah oleh hukum, belum tentu salah menurut Tuhan kelak. Dan, yang demikian telah ditunjukkan oleh sebagian para polisi kita yang telah siap menerima hukuman dunia ini dengan legowo. Mereka juga sejatinya juga ikut menjadi korban dari sebuah perhelatan yang diselenggarakan oleh rumah tangga orang lain. Karir yang dibangun dengan pengabdian terbaik, selama ini harus ekuivalen dengan tragedi memilukan ini. Sebagai bentuk empati, melayangnya ratusan jiwa korban tragedi ini, tampaknya harus diikuti oleh melayangnya karir dan jabatan yang selama ini menjadi kebanggaannya dan keluarga.
Akhirnya, kita sepakat bahwa tragedi kanjuruan adalah tragedi kita semua, bahkan tragedi dunia sepak bola secara keseluruhan. Di saat kita semua harus maratapi semua korban kita tetap harus servive sembari berdoa: Hopefully it will be last event ( Semoga peristiwa itu menjadi peristiwa terakhir), seperti kata Presiden. Amin.
Salam hormat penulis kepada para korban dan keluarga.