Tragedi Karnaval Sraten: Keluarga Korban Tuntut Perawatan Korban Selanjutnya

  • Whatsapp
Foto: KBSB mengunjungi salah satu korban parah tulang tragedi karnaval di desa Sraten. (Doc.Istimewa)

BANYUWANGI,Beritalima.com – Malam semarak di Desa Sraten, Kecamatan Cluring, berubah mencekam dalam hitungan detik. Kirab budaya sound horeg yang digelar Rabu malam (20/8/2025) berujung petaka ketika sebuah Toyota Innova hitam tiba-tiba melesat tak terkendali dan menghantam empat penari di barisan belakang. Suasana riuh karnaval mendadak berganti teriakan panik dan tangis keluarga korban.

Benturan keras membuat empat penari tersungkur dan harus dilarikan ke rumah sakit di wilayah Genteng. Dua korban sempat diperbolehkan pulang, sementara dua lainnya menjalani operasi besar akibat patah tulang serius. Meski kondisi berangsur pulih, mereka masih harus menahan rasa sakit dalam masa pemulihan yang panjang.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik derita korban, muncul kekecewaan keluarga. Mereka menilai pihak yang seharusnya bertanggung jawab justru terkesan lepas tangan.

Sunarto, salah satu kerabat korban, tak kuasa menahan amarah.

“Yang paling bertanggung jawab adalah penyelenggara yaitu ketua panitia dan pemberi izin! Kalau tidak ada izin, tidak mungkin ada kegiatan, dan tragedi ini pun takkan terjadi. Camkan itu,” ujarnya dengan suara bergetar.

Senada, Sunar menegaskan bahwa meski sopir dan pemilik mobil telah bertanggung jawab dengan menanggung biaya awal pengobatan dan membuat surat pernyataan damai agar tidak saling menuntut, tanggung jawab tidak berhenti sampai di situ.

“Korban masih harus menjalani perawatan lanjutan sampai benar-benar sembuh total. Itu juga harus dipikirkan. Panitia penyelenggara jangan hanya diam,” tegasnya.

Secara hukum, tuntutan warga ini tidak mengada-ada. Pasal 234 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan pengemudi maupun pemilik kendaraan bermotor memang bertanggung jawab atas kerugian pihak ketiga akibat kelalaiannya. Namun, keberadaan acara yang berizin juga menimbulkan konsekuensi hukum. Pihak panitia maupun pemberi izin tidak bisa serta-merta lepas dari tanggung jawab moral dan sosial.

Bahkan, dari sisi pidana, sopir yang karena kelalaiannya menyebabkan korban luka berat tetap berpotensi dijerat Pasal 310 UU LLAJ dengan ancaman penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp10 juta. Sanksi ini menjadi pengingat agar tragedi serupa tidak kembali terjadi.

Di tengah kekecewaan warga, perhatian justru datang dari Keluarga Besar Sound System Banyuwangi (KBSB). Komunitas yang menaungi pelaku dan pecinta sound system ini menyempatkan diri menjenguk semua korban tanpa terkecuali.

“Saya salut dan angkat jempol untuk KBSB yang peduli. Terima kasih banyak,” ucap Sunarto.

Tragedi Sraten kini tak sekedar meninggalkan luka fisik. Ia juga menorehkan luka sosial yang mendalam: kekecewaan warga terhadap panitia penyelenggara dan pemerintah desa yang dinilai abai. Sebuah ironi di tengah derita korban dan keluarga. (Rny//B5)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait