Oleh: Nurfadhilah Ahdan
Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya
Mendengar istilah child trafficking mungkin menimbulkan rasa khawatir, kesal yang mendalam, menyayat hati, bahkan hingga traumatik.
Perasaan tersebut wajar muncul mengingat trafficking menggambarkan sebuah kejahatan yang perlu mendapat perhatian besar dari pemerintah dan elemen-elemen masyarakat.
Child trafficking atau perdagangan anak adalah salah satu bentuk perekrutan perpindahan serta pengiriman orang yang bertujuan untuk mengeksploitasi, dengan cara penipuan, kekerasan, dan pemaksaan.
Anak-anak dipaksa menjadi pekerja seks, perbudakan serta penjualan organ tubuh. Bisnis perdagangan anak dianggap bisnis yang sangat menguntungkan.
Child trafficking merupakan salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang sangat melanggar HAM dan hak-hak anak.
Child trafficking berhubungan erat dengan gabungan kerjasama antarnegara, karena perdagangan anak biasanya dilakukan di daerah perbatasan negara.
Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan menjadi faktor utama perdagangan manusia, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaski perdagangan manusia seperti perdagangan perempuan, anak-anak bahkan laki-laki yang berpendidikan rendah.
Pihak yang rentan menjadi korban trafficking dan eksploitasi adalah perempuan dan anak-anak. Sangat disayangkan perempuan berhak untuk hidup damai dan jauh dari kekerasan, utamanya kekerasan seksual.
Sementara anak-anak seharusnya mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial.
Anak-anak berhak mendapat kesejahteraan, perlindungan, dan kasih sayang. Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungannya yang sehat, menikmati proses dalam masyarakat, mendapat pelajaran dari perubahan-perubahan dan interaksi dalam masyarakat.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kasus perdagangan anak (child trafficking), antara lain: (1) Kurangnya kesadaran : banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
(2) Kemiskinan: kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.
(3) Keinginan cepat kaya: keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang bermigrasi rentan terhadap child trafficking.
(4) Faktor budaya: faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya child trafiking: a) Peran anak dalam keluarga: kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafficking.
Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga. b) Perkawinan dini: perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini.
Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafficking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka. c) Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat.
Anak yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan. (5) Kurangnya pencatatan kelahiran: orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafficking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi.
Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. (6) Kurangnya pendidikan: orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
(7) Korupsi & lemahnya penegakan hukum: pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafficking untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal.
Para pejabat pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat buruh migran lebih rentan terhadap trafficking karena migrasi ilegal. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha traficking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku trafficking. (KPAI, 2014).
Perlakuan kejahatan terhadap anak termasuk bayi ini berupa tipu daya dan atau penculikan terhadap korban semakin memprihatinkan karena maraknya kasus ini terjadi di beberapa negara.
Untuk menangani masalah-masalah ini PBB telah membentuk sebuah organisasi yang berwenang dalam mengurusi masalah anak, yaitu UNICEF (United Nations Chilidren’s Fund). Sehingga pemerintah Indonesia dibantu oleh UNICEF membuat upaya-upaya untuk mengurangi child trafficking di Indonesia, di mana UNICEF dan dunia international menekan Indonesia untuk mengadopsi konvensi hak anak.
Upaya-upaya tersebut adalah dibuatkannya undang-undang yang relevan untuk memberikan perlindungan kepada korban trafficking yaitu UU No. 37/1997 tentang Hubungan Luar Negeri. Di mana UU ini dapat melindungi orang Indonesia yang tertraffick di luar negeri, UU No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, termasuk melarang perdagangan anak di mana perlindungan terhadap anak itu sendiri terdapat tujuan dari perlindungan anak dalam Pasal 3 UU No. 23 tahun 2002.
Upaya lain yaitu adanya RPSA (Rumah Perlindungan Sementara Anak) yang memiliki fungsi memberikan pelayanan segera bagi anak yang menghadapi tindak kekerasan dan perlakuan salah (emergency service), perlindungan (protection), pengembalian keberfungsian sosial anak agar dapat melaksanakan perannya secara wajar (rehabilitasi), pemulihan kondisi mental anak akibat tekanan dan trauma, advokasi, penyatauan kembali nak pada keluarga asli, keluarga pengganti serta lembaga lainnya (reunifikasi) (Nori Oktadewi & Khairiyah, 2018).
Untuk mengatasi child trafficking paling sederhana terletak pada peran oang tua dan lingkungan untuk melindungi, memberi kasih sayang, mendidik, dan mensosialisasikan pada anak untuk tidak mudah percaya pada orang asing.
Sehingga tidak mudah terjadi penipuan dan penculikan anak hingga child trafficking.