Oleh : Firman Syah Ali
Wafatnya anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar telah melahirkan jutaan ucapan duka, testimoni, epitaf dan kisah kenangan tentang Almarhum dari seluruh penjuru negeri. Komentar paling menyentuh datang dari Sekretaris PWNU Jawa Timur Prof Akh Muzakki bahwa Artidjo Alkostar merupakan role model Hakim Agung yang betul-betul Agung. Komentar ini sangat tepat dalam menggambarkan sosok Almarhum selama menjalankan tugasnya sebagai Hakim Agung. Selama menjabat sebagai Hakim Agung banyak koruptor yang diganjar hukuman super berat oleh Artidjo, antara lain Anas Urbaningrum, Ratu Atut Chosiyah, Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Abdullah Puteh, Darianus Lungguk Sitorus, Rokhmin Dahuri, Irawadi Joenoes, Anggodo Widjojo, Irjen (Pol) Djoko Susilo dan Sutan Bathoegana. Terhitung selama bertugas sebagai Hakim Agung Artidjo telah menangani 19.483 perkara dan menyidangkan 842 koruptor dengan mayoritas vonis sangat berat.
Konsistensi Hakim Agung Artidjo Alkostar untuk menghukum super berat para koruptor membuat namanya ditakuti. Kengerian hebat melanda jiwa para koruptor jika nama Artidjo Alkostar sang algojo koruptor ini disebut, terbukti tidak sedikit koruptor mencabut permohonan kasasinya saat mengetahui nama Artidjo Alkostar ada dalam daftar Majelis Hakim Kasasi tersebut.
Wafatnya Artidjo tidak saja membuat bangsa ini berduka-cita nan tiada terperikan, tapi juga membuat memori kita terkenang kembali akan berpulangnya Polisi Hoegeng Iman Santoso dan Jaksa Agung Baharuddin Lopa.
Jenderal Hoegeng adalah role model polisi jujur Indonesia yang disebut Gusdur dalam salah satu joke yang terkenal. Joke Gusdur tersebut berbunyi sebagai berikut “Ada tiga polisi jujur di Indonesia yaitu polisi tidur, patung polisi dan Polisi Hoegeng”.
Siapa sebenarnya Jenderal Hoegeng yang disebut Gus Dur dalam joke tersebut?
Hoegeng lahir pada 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Nama aslinya adalah Iman Santoso. Namun saat kecil Hoegeng sering dipanggil Bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi Bugeng, akhirnya berubah jadi Hugeng.
Hoegeng mengenyam pendidikan di beberapa daerah yang berbeda. Setelah Sekolah di HIS dan MULO Pekalongan, Hoegeng belajar di AMS A Yogyakarta. Selepas dari Yogyakarta, Hoegeng melanjutkan pendidikan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia kemudian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Awal karier sebagai polisi
Setelah lulus dari PTIK pada 1952, Hoegeng ditempatkan di Jawa Timur.
Tugas keduanya adalah sebagai Kepala Reskrim di Sumatera Utara yang menjadi batu ujian bagi seorang polisi karena daerah itu terkenal dengan penyelundupan.
Di Medan Hoegeng disambut secara unik. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Tetapi, ia menolaknya dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas.
Tak berhenti di situ, rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot, namun perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Sikap Hoegeng ini pun membuat gempar Kota Medan.
Selepas dari Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta dan ditugaskan Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi. Tindakan pertama yang dilakukan Hoegeng saat itu adalah meminta istrinya, Merry untuk menutup toko kembang. Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat. “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya,”. Isterinyapun memahami dan menutup toko kembang tersebut.
Tahun 1968 Presiden Soharto mengangkat Hoegeng sebagai Kapolri, namun sebagai pejabat jujur, Hoegeng menjadi peluru tak terkendali, dia sikat semua penyelundup tanpa pandang bulu, bahkan walaupun penyelundup itu dibekingi oknum petinggi militer, sehingga pada tahun 1971 Presiden Soeharto memberhentikannya dari jabatan Kapolri dengan alasan regenerasi (penyegaran) di tubuh Polri. Ironisnya M Hasan sebagai pengganti Hoegeng malah berusia lebih tua satu tahun, sungguh tidak segar.
Beberapa puluh tahun setelah berakhirnya Polisi Hoegeng, muncullah Jaksa Baharuddin Lopa. Beliau lahir di Pambusuang, Balanipa, Polewali Mandar, Sulawesi Selatan pada tanggal 27 Agustus 1935. Pada usia 25 tahun Baharuddin Lopa telah menjadi Bupati Majene, berhadapan langsung dengan tuan tanah lokal Andi Selle. Andi Selle saat itu merupakan orang yang paling ditakuti di sekitar Sulawesi Barat dan pare-pare.
Setelah itu Baharuddin Lopa berkarier di Kejaksaan sejak dari Kepala Kejaksaan Negeri Ujung Pandang, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan beberapa wilayah lainnya.
Tahun 1993 Baharuddin Lopa diangkat menjadi anggota KOMNAS HAM, tahun 1994 menjadi Sekjen KOMNAS HAM hingga tahun 1998. Tahun 1998 sang singa keadilan ini diDubeskan oleh Presiden BJ Habibie, namun pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid memanggilnya kembali ke tanah air dan diangkat sebagai Menteri Kehakiman, hanya lima bulan menjabat sebagai Menteri Kehakiman, tiba-tiba Presiden KH Abdurrahman Wahid menunjuknya sebagai Jaksa Agung RI. Begitu menjabat Jaksa Agung, Baharuddin Lopa langsung beraksi mengobrak-abrik mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya, diantaranya si raja hutan Bob Hasan.
Baru sebulan Jaksa jujur inj menjabat sebagai Jaksa Agung, tau-tau meninggal dunia secara mendadak dan mencurigakan. Baharuddin Lopa wafat tanggal 3 Juli 2001 di Rumah Sakit Al-Hamadi Riyadh dengan keterangan resmi gangguan jantung. Namun publik saat itu meyakini wafatnya Baharuddin lopa tidak alami, mengingat Baharuddin Lopa sedang bertempur hebat melawan para koruptor kakap.
Namun kepergian Baharuddin Lopa tergantikan dengan munculnya sosok Hakim Agung Artidjo Alkostar dari Madura. Antara tahun 2000 hingga tahun 2018 Artidjo Alkostar telah menjadi pengganti peran Baharuddin Lopa yaitu sebagai mimpi buruk bagi para koruptor.
Kisah hidup ketiga tokoh pendekar keadilan tersebut sama-sama tragis, Polisi Hoegeng tiba-tiba diberhentikan dari jabatannya, Baharuddin Lopa sulit menjadi Jaksa Agung selama Orde Baru, beliau diKomnas HAM-kan kemudian diDubeskan. Baru saja menjadi Jaksa Agung tiba-tiba wafat secara mendadak dan misterius. Artidjo Alkostarpun juga begitu, beliau gagal menjadi Ketua Mahkamah Agung
Kini ketiganya (Hoegeng, Baharuddin Lopa dan Artidjo Alkostar) telah tiada. Gugur bungaku di medan bakti. Siapakah kini pelipur lara nan setia dan perwira?
Dengan berpulangnya Artidjo Alkostar kini Indonesia mengalami kekosongan superhero hukum, siapakah sosok superhero berikutnya? Apakah Menkopolhukam Mahfud MD?
Sebaiknya kita jangan hanya terpaku pada sosok Mahfud MD sebagai sosok superhero berikutnya, kita sebaiknya bangkit membangun sistem yang bagus sehingga bisa memproduk superhero-superhero berikutnya secara sistematis bukan sporadis, sehingga wafatnya salah satu superhero bisa langsung tergantikan oleh ribuan superhero penggantinya.
Dengan perbaikan sistem kaderisasi dan karier di lingkungan kepolisian, kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, maka akan berlaku adagium patah satu tumbuh seribu, wafat satu pendekar keadilan muncul seribu pendekar keadilan penggantinya.
Dengan demikian maka Indonesia akan segera menjadi negara yang adil dan makmur.
*) Penulis adalah Bendahara Umum PW IKA PMII Jawa Timur