SURABAYA, Beritalima.com |
Baru-baru ini, publik tengah ramai membahas tentang kemunculan kembali Saipul Jamil setelah lima tahun mendekam di penjara karena kasus pelecehan seksual. Pasalnya, kebebasan pedangdut yang biasa disapa Ipul itu disambut meriah dengan kalungan bunga dan wajahnya kembali menghiasi beberapa acara talkshow Televisi (TV).
Melihat euforia tersebut, tidak sedikit masyarakat yang mengkritik bahwa penyambutannya itu tidak beretika. Merespons kegaduhan tersebut, salah seorang pakar komunikasi FISIP UNAIR, Prof. Dra. Rachma Ida, M.Comms, PhD memberikan tanggapannya dari perspektif media.
Poin Utama. Dosen yang biasa disapa Prof. Ida itu menyebutkan ada empat hal yang menjadi perhatian terhadap ramainya pembicaraan tentang Ipul. Pertama, terkait dengan dieluh-eluhkannya Ipul pasca bebas, hal itu menjadi bukti bahwa Ipul memiliki banyak fans. Ketika sudah menjadi fandom, maka biasanya fans tidak ambil pusing terhadap segala hal yang dilakukan oleh idolanya, meskipun perbuatannya itu keliru.
“Yang menjadi bahaya dari fansholic adalah orang-orang tidak bisa melihat secara objektif terhadap suatu fenomena karena rasa ‘kegilaannya’ sudah besar,” terangnya.
Poin kedua yang menjadi perhatian Prof. Ida adalah pengalungan bunga kepada Ipul saat keluar dari penjara. Menurutnya, tindakan itu merupakan bentuk euforia atau luapan kegembiraan fans atas kerinduannya selama Ipul di penjara.
“Nah, yang menjadi pertanyaan sekaligus poin ketiga adalah apakah mantan napi setelah bebas itu sudah merasakan jera atau belum. Dalam hal ini, sikap publik turut menentukan. Apabila publik mendukung untuk tidak melakukan perbuatan itu kembali, sang idola akan merasa diawasi perbuatannya. Akan tetapi, jika publik justru mengeluh-eluhkan dan masa bodoh, tidak menutup kemungkinan dia akan melakukan kesalahan yang sama,” jelasnya.
Selanjutnya Prof. Ida menilai ramainya media yang melakukan pemberitaan tentang Ipul merupakan bentuk pengalihan isu atau escaping. Artinya, di tengah pandemi yang tak kunjung selesai, media mengalihkan perhatian masyarakat dari isu Covid-19 agar tidak stress kepada isu Ipul.
Sikap TV. Ditanya perihal munculnya kembali Ipul menjadi narasumber di beberapa acara talkshow TV, Guru Besar Kajian Media pertama di Indonesia itu menganggap tidak menjadi masalah karena Ipul sudah kembali menjadi warga normal setelah menjalani hukuman. Namun, dia memberikan catatan bahwa penayangan Ipul di TV harus tetap menjaga etika dengan menghargai korban dan tidak membubuhi terkait permasalahan kasusnya.
“Asalkan tidak didramatisasi, contohnya diundang untuk menyanyi ya boleh-boleh saja. Dalam hal itu KPI tidak bisa melarang karena dia punya hak untuk tampil. Tapi, kalau tayangannya justru mendramatisasi kasus Ipul demi kenaikan rating, maka KPI sebagai regulasi bisa memberikan larangan,” paparnya.
Lebih lanjut, apabila mengundang Ipul sebagai bintang tamu, Prof Ida mengingatkan setiap stasiun TV untuk tidak hanya mementingkan profit atau rating saja. Namun, TV harus memikirkan bagaimana korbannya ketika menyaksikan tayangan itu.
“Intinya saya berharap media maupun TV bisa menyajikan tayangan yang mendidik, jangan diutek-utek lagi masalah pelecehan itu karena kasusnya sudah selesai di pengadilan. Kalau mau ngundang Ipul ya undang saja sebagai salah satu selebriti,” tutupnya. (Yul)