Jakarta, beritalima.com| – Dalam sebuah diskusi di kompek Parlemen, Jakarta (3/6), dibahas soal Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang sudah saatnya sangat perlu direvisi, mengingat beragamnya tantangan yang dihadapi saat ini.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Sabam Sinaga menyampaikan, urgensinya revisi UU Sisdiknas sebagai respons terhadap dinamika dan tantangan baru di sektor pendidikan. Turut dalam diskusi Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamesdikdasmen) Atip Latipulhayat serta Anggota DPD Lia Istifhama.
Sabam menyoroti fakta, UU Sisdiknas yang berlaku saat ini sudah berusia lebih dari dua dekade. “Sudah waktunya kita menyesuaikan undang-undang ini dengan perkembangan zaman. Banyak hal yang terjadi di dunia pendidikan yang belum terakomodasi, seperti intimidasi terhadap guru, perundungan terhadap siswa, hingga ketimpangan sarana dan prasarana,” kritiknya.
Ia menilai ketimpangan dalam alokasi anggaran pendidikan, khususnya antara perguruan tinggi negeri (PTN), swasta (PTS), dan lembaga pendidikan di bawah kementerian lain. “Kami menemukan bahwa pembiayaan pendidikan di beberapa lembaga kementerian bisa mencapai 14 kali lipat dibanding di PTN atau PTS. Ini bentuk ketidakadilan yang harus kita luruskan dalam revisi UU,” bahasnya.
Sementara Wamen Atip Latipulhayat mengungkapkan, revisi UU Sisdiknas merupakan inisiatif DPR yang direspons serius Kemendikbudristek. Ia menekankan pentingnya kodifikasi regulasi pendidikan agar kembali pada satu sistem pendidikan nasional yang utuh. “Kita ingin keluar dari fragmentasi. Pendidikan tinggi, guru-dosen, bahkan pendidikan pesantren perlu dikaji untuk masuk ke dalam kerangka satu sistem nasional,” tuturnya.
Lia Istifhama, Anggota Komite III DPD RI memberikan perspektif dari daerah. Ia melihat masalah pendidikan inklusif belum merata serta beban administratif guru yang tinggi selama pandemi, berdampak pada hilangnya fokus utama pengajaran. “Saya pernah kehilangan tunjangan profesi selama 10 bulan hanya karena beban pelaporan. Ini tidak boleh terjadi lagi. UU harus bisa melindungi martabat guru,” aku Lia.
Lia menyinggung pentingnya sanksi yang jelas dalam UU, terutama untuk lembaga penerima magang yang tidak melindungi siswa dari kekerasan atau pelecehan. “Siswa SMK sering menjadi korban, tapi tidak semua bisa diselesaikan lewat hukum pidana. Undang-undang harus punya solusi,” paparnya.
Jurnalis: Rendy/Abri

