JAKARTA, beritalma.com – Sawit Indonesia sering dibahas di Uni Eropa, dalam beberapa hal kebijakan Uni Eropa sungguh keterlaluan. Macam-macam alasan dan dalih yang mereka persoalkan tentang produk Sawit Indonesia. Padahal alasan itu tidak mendasar, misalnya soal lingkungan hidup dll.
Hal tersebut ditegaskan Djafar Badjebe, Komisaris Utama PTPN 2 Medan kepada wartawan melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (30/3).
Dijelaskan, Indonesia juga sangat peduli dengan lingkungan hidup, termasuk kebakaran hutan sudah turun drastis selama 4 tahun terakhir.
Apa yang persoalkan tanyakan dulu ke pihak Indonesia, kalau perlu buka data. Indonesia punya data yang kredibel dan akuntabel.
Dan patut di ingat bahwa, Uni Eropa bukan satu-satunya buyer minyak sawit ( CPO ) Indonesia. Negara lain pun banyak yang minat, seperti China , AS , Negara Arab, dll.
“Uni Eropa jangan mendikte Indonesia dengan berbagai alasan, sekalipun minyak Sawit dunia di kuasai Indonesia (54 %) dan Malaysia (32 %) tahun 2016, tetapi soal harga Uni Eropa sering mengatur dan mendikte kedua negara,” ujar Djafar menyakinkan.
Lanjutnya, Uni Eropa mungkin lupa atau tidak tahu bahwa bahwa perkebunan kelapa sawit adalah lokomotif pembangunan ekonomi Pedesaan di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan, Jawa dsb.
“Perkebunan kelapa sawit ini telah menyerap banyak Tenaga Kerja di Pedesaan. Perlu diketahui oleh Uni Eropa bahwa, 58 % rakyat Indonesia hidup di Pedesaan. Demikian juga banyak angkatan kerja Pedesaan terserap,” imbuhnya.
Selain itu, kata Djafar bahwa, jumlah penduduk miskin itu ada di Pedesaan. Dengan adanya perkebunan sawit tersebut menumbuhkan pendapatan dan kesejahteraan rakyat Pedesaan.
Adanya perkebunan kelapa sawit tersebut telah menjadi Big Push Theory (teori dorongan besar). Paul Resenstein-Rodan (1943): Pembangunan Pedesaan tidak akan berjalan jika dilakukan dalam investasi kecil (“bit by bit”)
Bahwa sejak 1980 awalnya kelapa sawit hanya 300.000 Ha. Tahun 2016 telah menjadi lebih kurang 11,6 juta Ha, dengan jumlah produksi CPO sekitar 35 juta /Ha.
Sekalipun jumlah kelapa sawit Indonesia sebanyak itu, bukan seperti membalikkan tangan. “Kita butuh beberapa tahun untuk bisa memetiknya, belum lagi pemupukannya butuh dana besar.
Indonesia dan Malaysia pun seharusnya pantas menikmatinya, tapi mau menikmati bagaimana kalau terus menerus dibayang-bayangi, di preser dan harga sawit pun terus terpuruk,” ujarnya lagi.
Akibat kebijakan Uni Eropa yang diskriminatif itu, saran saya, agar dilawan oleh Pemerintah Indonesia, dan bila perlu bawa ke WTO.
“Biarlah WTO tahu permasalahannya dan mencarikan solusi terbaiknya,” pungkasnya. (Red).