JAKARTA, Beritalima.com– Masih terasa bagaimana besar dampak dari ambang batas (Presidential Threshold) 20 persen yang ditetapkan DPR RI bersama dengan Pemerintah untuk Pemilihan Presiden 2019.
Ya, untuk memenuhi nafsu syahwat penguasa mempertahankan atau melanggengkan kekuasaan segelintir elite, sampai saat ini masyarakat di akar rumput masih terbelah dua. Dan, sampai saat ini keterbelahan itu masih dirasakan walau elite yang bersaing di Pemilihan Presiden lalu telah berbaur dalam Pemerintahan.
Sulit tampaknya buat menyatukan kembali keterbelahan itu, apalagi kalau DPR RI dan Pemerintah tetap mempertahankan Presidential Threshold (PT) 20 persen untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 agar tidak banyak calon yang maju 2024.
Hal tersebut diamini pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiluddin Ritonga. Bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Jumat (22/1), pria yang akrab disapa Jamil ini mengatakan, keterbelahan masyarakat itu harus diakhiri dengan jalan menurunkan PT untuk Pilpres mendatang.
Dengan diturunkannya PT berarti calon yang maju pada Pilpres mendatang tidak lagi dua pasangan, melainkan lebih sehingga masyarakat mempunyai pilihan alternatif dalam menyalurkan aspirasi politiknya sehingga tidak terjadi lagi keterbelahan di masyarakat yang mengancan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ya, seperti diberitakan, DPR bersama dengan Pemerintah segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu untuk 2024. Salah satu yang krusial dalam RUU itu berkaitan dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
Dalam RUU tentang Pemilu disebutkan, ambang batas parlemen 5 persen dan ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Kalau usulan ambang batas tersebut disetujui DPR, tentu hal itu hanya menguntungkan partai besar. Partai besar akan semakin mapan menghuni Senayan. Mereka ini akan terus mempertahankan status quo.
Karena itu, partai besar akan terus berupaya meningkatkan ambang batas parlemen dari pemilu ke pemilu. Dengan cara demikian, partai menengah dan partai gurem tinggal menunggu waktu terpental dan Senayan.
Kalau hal itu terjadi, kata Jamil, heterogenitas rakyat Indonesia akan semakin tidak tercermin di Senayan. Prinsip kebhinekaan terus tergerus dari pemilu ke pemilu dan tidak menutup kemungkinan pada suatu saat akan hilang dari Senayan.
Tentu anak negeri yang cinta demokrasi tidak akan menghendaki hal itu terjadi. Karena itu, harus diupayakan partai menengah dan gurem agar tetap eksis di Senayan.
Untuk itu, ambang batas parlemen perlu dikembalikan menjadi 2,5 persen, seperti yang berlaku pada pileg 2009. Kalau ini dapat disepakati, selain tidak banyak suara yang terbuang, juga akan semakin banyak partai yang masuk ke Senayan.
Semua partai yang masuk Senayan, kata Jamil, idealnya diberi hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Jadi, kalau ada 10 partai yang masuk Senayan, maka akan ada 10 pasang calon presiden dan wakil presiden yang wajib diajukan pada pilpres.
Kalau hal itu dapat diwujudkan, tidak diperlukan lagi ambang batas pencalonan presiden. Setiap partai yang lolos ke Senayan otomatis wajib mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dengan begitu, partai menengah dan gurem punya hak yang sama dengan partai besar dalam mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kalau itu dapat diwujudkan, rakyat akan mendapat banyak suguhan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih. Variasi pemilih akan tercermin pada variasi calon yang akan dipilih.
“Hal itu dapat juga menghindari polarisasi rakyat Indonesia kedalam dua kutub, sebagaimana terjadi pada pilpres 2014 dan 2019. Polarisasi seperti ini kalau terus dibiarkan tentu akan mengancam NKRI. Tentu ini tidak dikehendaki anak bangsa yang mencintai negeri ini,” demikian Muhammad Jamiluddin Ritonga. (akhir)