JAKARTA, Beritalima.com– Sembilan Fraksi Partai Politik (Parpol) pemilik kursi DPR RI 2019-2024 ditambah kelompok DPD RI sepakat menghadirkan kembali semacam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) masa pemerintahan Orde Baru.
Keberadaan haluan negara tersebut dimaksudkan sebagai patokan buat Presiden sebagai penyelenggara negara menentukan arah pembangunan berkelanjutan dalam usaha memperjuangkan kesejahteraan usaha rakyat. Artinya, ganti presiden tidak ganti program.
Hal itu terungkap dalam diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Pelaksanan Rekomendasi MPR RI 2014-2019’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta akhir pekan ini.
Tampil sebagai pembicara dalam diskusi yang digelar Humas Pemberitaan MPR RI bekerjasama dengan Koordinatoriat Watawan Parlemen itu, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah (PDIP), Syarifuddin Hasan (Partai Demokrat) dan Wakil Ketua DPD RI, Nono Sampono.
Sejatinya, ungkap Ahmad Basarah, wacana menghadirkan kembali haluan negara merupakan rekomendasi dari dua periode MPR RI sebelumnya. Dan, pimpinan serta anggota MPR RI 2019-2024 sepakat untuk mendalami dan menindak lanjuti wacana tersebut.
“Sembilan pimpinan MPR RI ditambah kelompok DPD RI sepakat menindak lanjuti rekomendasi MPR RI sebelumnya untuk mendalami serta menindak lanjuti menghadirkan kembali Haluan Negara dalam payung hukum amandemen ketetapan MPR,“ pria yang dijuluki Profesor Panca Sila itu.
Laki-laki kelahiran Jakarta, 16 Juni 1968 tersebut mengatakan, dari 10 fraksi dan kelompok DPD RI, delapan fraksi termasuk kelompok DPD RI setuju Haluan Negara di hadirkan lewat amandemen terbatas, tiga fraksi setuju tapi lewat mekanisme undang-undang.
“Saya tidak melihat perbedaan, mencoba dari persamaannya dimana fraksi parpol sama-sama merasakan perlunya kembali menghadirkan semacam Haluan Negara untuk menjadi patokan arah pembangunan yang harus dijalankan presiden sebagai kepala pemerintahan,” kata Ahmad Basarah.
Soalnya, kata dia, kita sama-sama merasakan sistem dari ketatanegaraan Indonesia terutama mengenai aspek pembangunan nasional pasca dihapusnya wewenang MPR RI untuk membuat wewenang haluan Negara, kami anggap tidak baik untuk melanjutkan kesinambungan pembangunan.
Sistem UU yang menjadi payung hukum pembangunan nasiaonal saat ini, kata dia, hanya bersifat eksekutif sentries, memberikan guidance kepada pemerintah atau eksekutif semata.
Padahal pembangunan bangsa Indonesia bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata tetapi setidaknya juga mengikutkan lembaga lainnya yang berwenang seperti bersifat konstitusional, ada DPR RI, DPD RI, MK dan KY. Kesemua lembaga negara ini punya tanggung jawab yang sama untuk pembangunan Indonesia dalam mencapai tujuan mensejahterakan masyarakat,“ jelas dia.
Kelemahan lain, kata Basara, UU itu tidak memberikan guidance antara visi dan misi calon presiden maupun calon kepala daerah jika terpilih dengan apa yang ditetapkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Hasilnya, konsepsi pembangunan pusat dan daerah hanya bersumber pada visi calon presiden atau calon gubernur maupun calon bupati/wali kota. Akhirnya Gubernur atau bupati/wali kota berjalan sendiri-sendiri. Akibatnya, terjadilah diskoneksitas pembangunan nasional.
Kelemahan lain tidak adanya Haluan Negara, tidak memberikan sanksi manakala pemerintahan yang berhenti karena alasan dua periode atau alasan lain tidak dilanjutkan kepala pemerintahan berikutnya, karena tidak ada kewajiaban.
“Akibatnya, muncul egosektoral, ego kepentingan partai pengungsung tidak melanjutkan apa yang pemerintahan sebelumnya dilakukan,“ demikian Ahmad Basarah. (akhir)