JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Data Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH), Dr H Mulyanto menilai, masa sidang Badan Legislasi (Baleg) terkait penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021 merupakan saat yang tepat untuk merevisi UU No: 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Menurut Mulyanto, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI itu, setelah Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut pasal-pasal terkait Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) sebagai pengganti Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), UU No: 22/2001 tentang Migas menjadi penting untuk segera direvisi.
Ini dilakukan dalam rangka menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2012 terkait kelembagaan Badan Pelaksana Hulu Migas. “Bila Baleg membolehkan, Komisi VII siap mengajukan Revisi UU Migas untuk Prolegnas Prioritas 2021,” ujar Mulyanto dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (20/11).
Bahkan dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Prolegnas 2021, awal pekan ini, Mulyanto mengaku, sudah berkomunikasi dengan Ketua Komisi VII DPR RI terkait kesiapan ini. Bahkan, kata dia, di internal Komisi VII sudah ada kesepakatan tidak tertulis untuk memasukkan revisi UU No. 22/2001 ini dalam Prolegnas Prioritas 2021 sebagai RUU inisiatif DPR RI.
“Sejak Badan Pelaksana Hulu Migas yang diatur dalam UU No: 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dibatalkan melalui keputusan MK 2012, praktis pelaksana kuasa pertambangan migas dijalankan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas yang bersifat sementara.
Kelembagaan ini jelas tidak ideal karena selain bersifat sementara, hanya berupa satuan kerja di dalam Kementerian ESDM, lembaga ini juga hanya memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan. SKK Migas tidak memiliki fungsi pengelolaan dan pengusahaan. “Dan, ini sudah berlangsung lebih dari 8 tahun. Waktu yang tidak pendek,” jelas Mulyanto.
Karena itu, kata dia, semestinya Pemerintah sudah menyiapkan konsep kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas dengan matang sebagai tindak lanjut dari keputusan MK titu sehingga pembangunan di sektor hulu migas benar-benar dapat dilaksanakan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ditambahkan wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten itu, Fraksi PKS menginginkan kelembagaan pelaksana kuasa pertambangan migas atau BUMN-Khusus ini, sesuai amanat MK, dapat menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan, sebagaimana sekarang dilaksanakan SKK Migas serta ditambah fungsi pengelolaan dan pengusahaan sektor hulu migas.
Jadi, BUMN Khusus ini berfungsi sebagai ‘regulator’ sekaligus ‘doers’ (pelaksana) di sektor hulu migas. Tujuannya, agar Pemerintah sebagai representasi dari Negara dan pemegang kuasa pertambangan migas, mengelola secara langsung sektor hulu migas ini demi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.”Dengan kelembagaan yang terbatas seperti sekarang ini, kita pesimis target lifting minyak 1 juta barel per hari dapat terwujud,” jelas Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Industri dan Pembangunan ini.
Diungkapkan. BUMN Khusus ini sebaiknya hanya menangani sektor hulu migas. Sementara di sektor hilir sudah ada Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas sebagai regulator dan PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana (doers).“Pertamina sebagai BUMN yang juga bergerak di sektor hulu migas, tetap eksis dan mendapat previlege dalam usaha hulu migas tersebut,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)