Upaya Memaksimalkan Pelaksanaan Zakat

  • Whatsapp

Oleh : Drs. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)

Salah satu kegiatan tahunan yang turut menyibukkan kaum muslimin menjelang lebaran ini adalah masalah penunaian zakat. Apakah itu zakat mal atau zakat fitrah, keduanya menjadi masalah yang belum habis untuk dibicarakan. Salah satu masalah diantaranya adalah masalah belum maksimalnya kesadaran kebanyakan kaum muslimin untuk menunaikannya. Padahal, lewat para ustadz di kampung, sejak kanak-kanak telah kita kenal, bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima. Menurut Abbas Kararah, dalam kitabnya Al Din Wa al Zakat sebagaimana dikutip oleh Prof. Masjfuk Zuhdi, bahwa di dalam Al Qur’an kewajiban zakat diwajibkan bersama kewajiban salat pada 82 tempat. Rasulullah SAW sendiri ketika menyebut sendi-sendi agama yang lima juga tidak ketinggalan menyebut zakat. Ketika rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat islam digantikan oleh Abu Bakar as Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh Khalifah diagendakan untuk diperangi. Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat.

Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang sangat penting yang karenanya tidak dapat diabaikan oleh setiap kaum muslimin. Karenanya pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf. Di negara kita, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Pertanyaan kita adalah, apakah dengan demikian, setelah UU tersebut dikeluarkan, kewajiban zakat ini sudah, atau nantinya akan, terlaksana dengan baik?. Kalau tolok ukur yang digunakan adalah banyaknya ummat Islam pada bulan ramadlan yang hiruk pikuk mendatangi lembaga amil zakat di masjid untuk membayar zakat, maka dapat dikatakan bahwa zakat memang sudah dilaksanakan dengan baik oleh ummat Islam. Akan tetapi, kenyataannya gairah berzakat tersebut, sebagian besar adalah hanya menyangkut zakat fitrah. Motivasi orang berfitrah itupun juga beraneka ragam, dari yang benar-benar karena kesadaran beragamanya sampai yang karena hanya sekedar ‘membuang sial’ untuk menghadapi Idul Fitri, yang menurut sementara orang sebagai hari pesta-pora.

Pada hal, sebagaimana kita ketahui, zakat fitrah hanya merupakan salah satu kewajiban saja. Di sampingnya ada zakat yang sebenarnya jauh lebih penting, yaitu zakat mal, zakat yang diambil dari kekayaan seseorang, seperti hewan ternak, buah-buahan, pertambangan, dan, jangan lupa, juga dari hasil profesi kita. Karena omsetnya yang relatif besar, maka macam zakat inilah yang sebanarnya sangat potensial untuk mengangkat taraf kesejahteraan kaum ekonomi lemah ( mustadh’afin ). Inilah mengapa sebabnya zakat mal sebenarnya lebih penting untuk diperhatikan umat Islam.

Banyaknya anak umat Islam terlantar, anak yang tidak bisa mengikuti wajar sembilan tahun, pengemis mangkal di bawah-bawah traffic light, di satu sisi merupakan beberapa contoh ketidak berdayaan negara mengurus manusia-manusia kurang beruntung tersebut. Di sisi lain, pada saat yang sama, juga merupakan bukti belum berdaya gunanya lembaga zakat.

Kelemahan umat Islam di bidang manajerial dalam menangani setiap dana yang bersangkut paut dengan umat, tampaknya juga terjadi pada zakat. Sering kita dengar ada kelompok-kelompok begitu peduli dengan kegiatan pengumpulan zakat. Kepedulian mereka ditunjukkan dengan membuat pos-pos penerimaan zakat, seperti di masjid-masjid, di mushala, dan bahkan juga di kantor ormas-ormas Islam tertentu. Akan tetapi, setelah kita lihat ke dalam, tingginya kepedulian mengkoleksi harta zakat tersebut tidak diimbangi dengan perencanaan yang jelas. Ketidak jelasan ini terlihat ketika harta zakat tersebut telah terkumpul. Banyak kolektor zakat yang hanya bertindak sebagai perantara belaka. Menerima harta zakat kemudian mereka teruskan begitu saja kepada para mustahiq apa adanya. Celakanya, terkadang para kolektor tersebut malah menjadi sumber fitnah. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketidaktransparan dan ketidaktertiban administrasi para kolektor dalam mengelola harta zakat yang terkumpul. Akibat berikutnya, para muzakki juga tidak lagi menaruh kepercayaan terhadap kelompok kolektor zakat ini.”Untuk apa menyetor zakat kepada mereka, jika harta zakat kami tidak sampai kepada yang berhak”, begitu kata sementara para muzakki.

Dengan demikian, ketidakgairahan para muzakki menyetor zakat selama ini antara lain disebabkan oleh kredibilitas dan akuntabilitas para amil yang memang relatif rendah di mata umat. Inilah kiranya mungkin yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 38 Tahun 1999. Harapan yang ingin dicapai oleh produk legeslatif ini kurang lebih adalah: membenahi para kolektor zakat ( baca : Amil ) agar mempunyai kredibillitas dan akuntabilitas di mata umat. Dengan potret mereka yang demikian, diharapkan nantinya masyarakat percaya dan mau secara suka rela menyerahkan zakatnya kepada mereka. Misi untuk menaikkan citra lembaga amil, dari undang-undang, yang lahir di era pemerintahan Presiden Habibie, ini juga terlihat kental manakala kita menyimak adanya penerapan ancaman sanksi untuk para amil yang berani ‘main-main’ dengan harta zakat. ( Pasal 21 UU Nomor 38 Tahun 1999 ).

Pertanyaan kita adalah, apakah dengan Undang-uandang tersebut dengan serta merta pendayagunaan zakat akan optimal. Jawabnya, sudah barang tentu belum. Sebab, keberadaan organisasi amil, yang sudah dijamin UU tersebut, masih harus diuji dengan kemampuan di bidang manajerial. Dan, berbicara tentang manajeman, salah satu unsurnya, antara lain, tidak bisa lepas dengan Sumber Daya Manusia ( SDM ) yang ada di dalamnya. Piawai dan tidaknya SDM yang ada di dalamnya, pada akhirnya akan menjadi salah satu penentu besar kecilnya animo masyarakat untuk menyetor zakat kepada organisasi amil tersebut.

Terlepas dari hal-hal tersebut, sebenarnya saat kita gembira menyambut UU Zakat ini ada sesuatu yang kita sayangkan. Sesuatu yang kita sayangkan tersebut ialah ketika undang-undang tersebut, tidak menyentuh aspek substansi zakat sebagai salah satu kewajiban agama.

Sebagaimana diketahui, bahwa yang diatur dalam UU tersebut hanyalah mengenai pengelolaan. Sedangkan, mengenai bagaimana benda yang akan dikelola oleh pengelola– dalam hal ini harta zakat dari para aghniyak–bisa terkumpul, sama sekali tidak disinggung. Padahal, mestinya justru bagaimana agar para wajib zakat ini mau mengeluarkan zakat merupakan persoalan yang sebenarnya paling esensi. Dalam sejarahnya, bagaimana justru efektivitas pengumpulan zakat ini yang perlu didahulukan. Untuk terlaksananya hal ini diperlukan campur tangan para penguasa. Secara historis dapat kita temukan jejak sejarah, bahwa zaman awal pemerintahannya, Khalifah Abu Bakar sampai perlu memerangi sekelompok orang hanya karena mereka ingkar membayar zakat. Dengan demikian, keterkumpulan harta zakat tidak mungkin dicapai hanya dengan mengandalkan kesadaran para wajib zakat. Keterkumpulan zakat juga tidak bisa disamakan dengan keterlaksanaan rukun-rukun Islam yang lain. Adanya daya paksa dari negara melalui institusi yang diberi kewenangan untuk memaksa, mutlak diperlukan.

Sekalipun pada keterlaksanaan zakat ini perlu campur tangan institusi pemaksa, akan tetapi harus ada mekanisme yang mengatur proses pemaksaan tersebut. Persoalan yang mungkin timbul adalah, siapa yang berkompeten menentukan seseorang dapat atau tidaknya dipaksa membayar zakat. Sebab, bisa saja seseorang yang dipaksa membayar zakat berkelit, bahwa menurut standar ajaran agama yang diketahuinya, dia belum berkewajiban membayar zakat, yang berarti juga tidak bisa dipaksa oleh siapapun untuk membayar zakat. Dalam konteks ini, adanya institusi yang berkompeten memberikan vonis bahwa seseorang sudah atau belum dan dapat atau tidaknya dilakukan pemaksaan. Pertanyaan kita adalah, adakah institusi di negara kita yang berkompeten demikian ?.

Saat ini di Indonesia sudah ada peradilan yang dikhususkan untuk menangani sebagaian persoalan ummat Islam, yaitu Peradilan Agama, yang ekistensinya telah dikukuhkan dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh undang-undang tersebut, secara absolut, lembaga peradilan ini, antara lain, diberi kewenangan untuk menangani perkara sadaqah.( Pasal 49 ayat (1) huruf (c).
Dalam praktek, para praktisi Peradilan Agama memang masih mangalami ‘kebingungan’, tidak hanya dalam hal memformat hukum acaranya, tetapi juga mengenai makna atau cakupan istilah sadaqah tersebut. Lebih-lebih lagi, oleh para pakar hukum kita, termasuk pakar hukum Islam, hal tersebut juga tidak pernah atau, setidak-tidaknya jarang, diwacanakan. Keanehan ini kemudian juga muncul ketika undang-undang zakat, yang nota bene merupakan bagian dari urusan ummat Islam tersebut, sama sekali tidak menyentuh keberadaan Paradilan yang dikhususkan untuk mengurus sebagian urusan orang Islam tersebut. Meskipun, dalam konsiderannya jelas mencantumkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
Lantas, apa hubungan hal ini dengan upaya memaksimalkan keterlaksanaan Syari’at zakat.

Sementara ini para praktisi hukum, ilmuwan hukum Islam, dan kaum muslimin tampaknya relatif belum menyadari, bahwa terdapat benang merah antara eksistensi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan keterlaksanaan syari’at zakat. Benang merah ini akan terlihat dengan jelas manakala semua pihak mau menelusuri makna sadaqah.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa kewajiban zakat dalam al Qur’an juga disebut dengan menggunakan kata non zakat, yaitu Shaqaqah. Hal ini bisa dilihat pada Ayat 103 Surat At Taubah. Pada Ayat 60 surat yang sama, ketika Allah SWT secara limitatif menyebut kelompok orang-orang yang berhak menerima zakat, penghulu ayat tersebut juga tidak memakai kata ‘zakat’, tetapi justru memakai kata ‘sadaqah’. Dengan demikian, sadaqah bisa bermakna zakat dan dalam ayat tersebut kata ‘sadaqah’ justru harus dimaknai ‘zakat’, sebagaimana yang kita kenal sebagai salah satu rukun Islam. Bukan yang lain. Benang merah yang dapat ditarik dari eksistensi Peradilan Agama dengan pelaksanaan syrari’at zakat adalah jika makna sadaqah dikembalikan ke makna semula, yaitu kata ‘sadaqah’ dalam Pasal 49 ayat (1) huruf (c) UU Nomor 7 Tahun 1989 diberi interpretasi ‘zakat’.

Apabila kerangka pikir demikian dapat disetujui, maka dapat dipastikan pelaksanaan syari’at akan efektif. Caranya adalah dengan memformat lembaga zakat sebagai yurisdiksi kontensius, yaitu terbukanya lembaga pengaduan terhadap orang-orang yang sudah seharusnya atau diduga sudah berkewajiban membayar zakat, tetapi enggan, ke Pengadilan Agama. Yang dapat bertindak sebagai penggugat dapat Badan Amil Zakat yang diberi kewenangan oleh UU sebagai lembaga pengumpul Zakat atau para mustahiq. Pengadilanlah yang nanntinya akan menentukan apakah seseorang yang diadukan tersebut sudah berkewajiban zakat atau belum, menentukan zakat yang harus dikeluarkan. Bahkan, mengeksekusi seseorang yang telah diputus membayar zakat, tetapi tidak bersedia melaksanakan putusan dengan suka rela untuk membayar zakat. Akan tetapi, dapatkah wacana demikian disepakati, atau, setidak-tidaknya, mendapat respon? Kita nantikan saja! Wallahu A’lam.

Bahan Bacaan :
1. Al Qur’an dan Terjemahnya Departemen Agama RI
2. Al Hadits : Terjemah Hadits Shahih Bukhari alih Bahasa oleh Zainuddin Hamidi, dkk.
3. Al Fiqh Al-Islamy, Dr. Wahbah al-Zuhaily.
4. Fiqih Sunnah Oleh Al Sayyid Sabiq alih bahasa oleh Muhyiddin Syaf.
5. Masail Fiqhiyyah oleh Prof. H.Masjfuk Zuhdi, M.A.
6. Pedoman Zakat oleh Prof. Dr.Tgk.M. Hasbi Ash Shiddieqy.
7. Makalah Prof.Dr.H. Muchsin,S.H. judul : Perundang-undangan Yang Mengokohkan Hukum Islam di Indonesia

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait