Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Beberapa waktu lalu ada pesan berantai bernuansa pilu. Postingan berita melalui aplikasi (WA) yang diposting di grup hakim itu, pada intinya mengekspos data kematian para hakim sejak bulan Juli 2021. Terdapat puluhan hakim peradilan agama yang meninggal dalam kurun waktu kurang dari dua minggu. Jika sebelumnya berita viral menyorot para dokter dan tenaga kesehatan, tetapi kali ini berita tragedi itu menimpa para pengadil. Memang belum ada semacam penelitian resmi, apakah kematian itu ada hubungannya dengan situasi pandemi, atau lebih tegasnya disebabkan oleh covid-19, atau tidak. Tetapi kematian demi kematian yang tersiar via pesan berantai itu benar-benar membuat pilu dunia peradilan. Dan, mengingat usia mereka yang relatif muda, mau tidak mau menimbulkan kecurigaan kuat bahwa mereka meninggal karena ekses suasana pandemi.
Kematian insan yang sering lekat dengan sebutan yang mulia itu di satu sisi memang dapat disebut sebagai mendapatkan suasana kematian mulia sesuai predikat yang disandang. Sebagaimana telah di sinyalir oleh berita nubuwat (al Hadits ) dan telah difatwakan oleh para ulama sejak pandemi ini melanda, bahwa kematian pada situasi pandemi mendapat predikat mati syahid. Suatu kematian yang sebenarnya diidamkan oleh setiap muslim.
Di sisi lain, kematian tersebut pasti tetap menyisakan duka yang mendalam bagi istri dan anak-anak yang ditinggalkan. Sesaat para istri akan terbayang betapa berat beban yang akan dipikul oleh para janda dari para pengadil ini. Kepiluan demikian tentu sangat beralasan. Banyak Hakim yang saat meninggal dalam keadaan belum pensiun itu, masih meninggalkan anak-anak yang sepenuhnya menggantungkan finansial kepada ayah mereka. Gaji yang salama relative tinggi selama ini diterima akan terjun bebas ke bawah. Pada saat yang sama, ada dalam satu keluarga dua atau tiga orang masih belajar di perguruan tinggi. Masih ada pula yang baru ‘lulus’ masa mumayyiz yang tentunya belum tahu sama sekali problematika kebutuhan hidup dan masa depan kehidupan.
Pertanyaan mendasar tampaknya memang perlu diajukan, akankah duka mendalam yang menimpa keluarga para hakim itu masih akan terus menyusul lagi? Fakta menunjukkan, bahwa pandemi sampai saat ini tampaknya juga belum ada tanda-tanda mereda. Ironisnya, simpang siur informasi seputar covid-19 juga semakin marak. Pro kontra seputar, apakah covid-19 juga masih terus berlangsung. Isi covid semakin terasa tidak brujung, ketika harus bercampur dengan isu politik. Keberpihakan masyarakat, secara politik sering harus terlibat dengan kebijakan penanganan covid-19. Bahkan, sering lawan politik yang kebetulan berseberangan dengan rejim penguasa, membuang jauh-jauh objektivitas, dengan jargon tersembunyi: “Yang Penting Melawan”.
Sehingga, kibijakan apapun yang diambil oleh penguasa nyaris tidak ada yang dianggap tepat. Melalui kekuatan medsos mereka terus menyebar informasi apapun yang asal beda dengan pemerintah. Vaksinasi yang dinggap pemerintagh sebagai salah satu bentuk standar menangani pandemi, justru mereka maknai sebaliknya. Mereka justru menganggap, bahwa vaksinasi merupakan upaya pembunuhan masal terselubung secara sistematis. Isu rasial, cina dan pribumi, pun ikut dijadikan aminusi bagi senjata politik. Targetnya mudah ditebak, agar pemerintah mendapat predikat telah gagal menangani pandemi berikut booming kematian yang diakibatkan. Dengan terus berujar dengan jargon bahwa “keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”, mereka terus masuk di setiap lini.
Akibat propaganda di atas, memang ternyata membuahkan hasil. Sebut saja isu vaksin. Di tengah sebagian masyarakat ikut mengantre mendapatkan vaksin, banyak pula yang anti vaksin. Mareka memang percaya bahwa covid-19 ada tetapi tidak harus mengikuti vaksin. Adalah sangat ironis, bahwa di antara mereka terdapat kalangan terdidik. Logika mereka seolah semakin mendapat legitimasi, ketika ada beberapa insiden pascavaksin, seperti ada yang setelah divaksin meninggal atau mengalami perubahan/ gangguan kesehatan. Tentang, apakah kematian atau dampak gangguan kesehatan, akabat vaksin atau karena sebab lain, tidak pernah mereka pertanyakan. Padahal,di samping secara struktural amanat internasional (WHO), vaksinasi diyakini oleh pemerintah merupakan salah satu upaya mengerem laju pandemi.
Terlepas, apakah tindakan yang dilakukan negara menangani pandemi yang hampir 2 tahun tanpa henti ini, evektif atau tidak, para hakim mestinya tetap fokus dalam tugas. Bukankah para petinggi Mahkamah Agung, sebut saja Dr. Drs.H.Aco Nur, S.H. (selaku Dirjen Badilag) terus memberikan motivasi, bahwa sekalipun masa pandemi, seluruh aparat peradilan harus tetap bersemangat menunjukkan kinerja terbaik. Adalah suatu yang ironis, jika para hakim tampaknya justru sering terlibat pro kontra di atas. Bukti mengenai fenomena demikian yang paling mudah dapat dilihat pada jagat medsos, khususnya aplikasi WA. Ada hakim yang sangat berlebih-lebihan berkomentar, yang pada pokoknya, semua kebijakan pemerintah nyaris tanpa cacat. Pada saat sama, yang kontra tidak kalah serunya bereaksi. Mereka juga berpendapat, bahwa semua kebijakan pemerintah, justru dimaksudkan, antara lain, sebagai bentuk perdagangan politik yang ujung-ujungnya demi agenda lima tahunan.
Dua postingan dari dua kutub hakim yang saling berhadapan secara vis a vis tersebut, masih sering harus dikuatkan oleh dukungan informasi murahan sekaligus irasional berupa sebaran hoax. Padahal, dari pada hoax, mestinya masih mendingan, postingan bernuansa rekreasi, seperti humor segar atau tip-tip ringan seputar kesehatan. Diskusi-diskusi bidang teknis via medsos pun, nyaris tidak mengemuka. Apabila ada satu atau dua hakim yang mencoba memancing ke ranah akademik paling hanya mendapat respon satu atau dua hakim. Respon semikian, tentu sangat paradoks, semisal, dibanding komentar tentang berita duka atau ucapan selamat ketika ada petinggi tertentu saat menjalani kenaikan jabatan. Efektivitas medsos bagi percepatan penyebaran informasi, dalam hal ini sebagai sarana pengembangan pengetahuan teknis, sulit diperoleh.
Salah satu persoalan akademik yang patut didiskusikan seluruh para hakim mestinya adalah bagaimana agar di era pendemi ini sistem penerimaan perkara, pemanggilan, dan sidang-sidang pengadilan dapat dilakukan dengan berbasis teknologi. Bagaimana orang mendaftar perkara sepenuhnya tidak perlu datang ke kantor, seperti yang secara smart telah diperkenalkan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Madiun. Bagaimana di era pandemi ini, jurusita yang melalukan pemanggilan tidak harus secara manual datang ke lokasi, sekaligus aspek legitimasinya. Bagaimana SEMA tentang siding online disempurnakan, sehingga sidang-sidang virtual dapat dilakukan dengan mudah.
Mengapa hal-hal di muka, perlu menjadi diskusi para hakim, paling tidak karena dua alasan. Pertama, para hakimlah (hakim tingkat pertama) yang paling merasakan dampak pandemi. Kamatian aparat peradilan secara acak lebih banyak terjadi di tingkat pertama. Tingkat risiko aparat peradilan tingkat pertama sangat tinggi, akibat harus kontak langsung dengan masyarakat yang belum jelas status kesehatannya. Kedua, fakta riil di lapangan perlu dirumuskan secara akademik guna memberikan masukan kepada para pembuat kebijakan di pusat yang tentu lebih banyak bekerja di ‘belakang meja’. Para hakim yang kini banyak berlatar belakang pendidikan strata-3 mungkin sudah waktunya secara aksiologis mengimplementasikan keilmuannya guna merespon hal-hal aktual, seperti pandemi. Jika beberapa waktu lalu kita dengar ada “fikih polisi” dan “fikih pandemi”, mungkin sudah waktunya digagas “hukum acara pendemi”. Mengapa hukum acara pandemi ini perlu dirumuskan? Para hakim pasti sudah sangat tahu, bahwa hukum acara merupakan aturan main dan karenanya sering bersifat strict law. Salah menerapkan hukum acara jauh lebih fatal akibatnya ketimbang salah dalam penerapkan hukum materiil. Kalau begitu, ayo kapan dimulai?