Jombang | beritalima.com – Pembatasan Dampak Zat Adiktif Bagi Buruh dan Petani di Industri Tembakau diatur dalam Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, telah dilaksanakan berdasarkan Pasal 116 UU No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Namun peraturan itu bagi aparatur negara dan daerah sifatnya ambigu karena menyangkut dua hal yang harus diperjuangkan, yaitu penting untuk kesehatan dan penting untuk kesejahteraan petani dsn buruh tembakau.
Petani hidup berdampingan dengan tembakau hidupnya sudah hidup berlangsung telah berlangsung lama hingga bisa hidup sehat, bisa makan dan bisa memperjuangkan keluarganya agar anaknya pintar dan masuk perguruan tinggi. Bahkan dari hasil jual tembakau ada juga yang menjadi pejabat daerah dan pusat. Salah satunya Bahana Bela Bananda pernah menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Jombang.
Bahkan menurut pengakuannya ketika bertemu dengan wartawan beritalima ini, tidak ada keinginan untuk menjadi pejabat kembali melainkan menikmati hidup dari hasil tembakau. Walaupun sedikit banyak masih aktif di salah satu partai politik besar di Indonesia.
Tapi terkait nasib buruh dan petani di Industri tembakau, menurut pantauan wartawan beritalima.com tidak ada kaitannya dengan pembatasan dampak zat adiktif bagi buruh dan petani di industri tembakau. Karena petani dan buruh tembakau dalam realitanya tidak mengatur urusan yang mengandung zat adiktif. Urusan zat adiktif tembakau itu kalau sudah menjadi sigaret atau rokok yang dikelolah oleh industri rokok.
Petani tembakau tugasnya hanya menanam dan menikmati hasil panen tembakau untuk kelangsungan hidupnya. Sekalipun beralih ke tanaman lain banyak yang mengatakan selalu tidak cocok meskipun dipaksakan berulang – ulang tapi tidak ada hasil yang diharapkan.
Karena tanah yang biasa ditanami tembakau itu katanya sudah hukum alam karena cocoknya hanya dengan tembakau dan tidak cocok dengan tanaman lain. Petani pun tidak akan sampai memikirkan bahwa menanam tembakau berbahaya karena mengandung zat adiktif.
Sedangkan buruh tembakau yang ada dalam gudang tugasnya hanya mensortir, memisahkan, dan memfacking untuk diberangkatkan ke pabrik rokok. Mereka bertahan mengais rejeki dengan penghasilan minim Rp40 ribu per harinya, mereka tidak mau tahu urusan tembakau berbahaya atau tidak. Tahunya mereka bekerja, bisa dapat uang dan bisa menafkahi keluarga.
Hal lain terkait masa depan petani dan buruh tembakau tergantung kebijakan pemerintah karena di dalam PP 109/2012 ada dua hal yaitu untuk kepentingan kesehatan maupun untuk kepentingan kesejahteraan petani dan buruh.
Dari pantauan beritalima, tugas petani dan buruh tembakau hanya sampai buruh linting, selepas itu menjadi kepentingan industri rokok/sigaret yang dalam penyebarannya berdasarkan market plan. Dan bersentuhan langsung dengan peraturan tersebut di atas, bahkan berhubungan langsung dengan aparat yang menangani pengendalian tembakau.
Begitu juga dekat dengan masyarakat sipil yang turut memperjuangkan penyebaran rokok, cerutu, sigar dan jenis tembakau lainnya yang menyebabkan ketagihan karena tembakau mengandung zat adiktif. Industri rokok pastinya mengikuti himbauan pemerintah dan memperhatikan masyarakat sipil yang memperjuangkan agar penyebaran rokok bisa dikendalikan.
Kendati sudah ada larangan, supermarket tidak menjual rokok kepada anak dibawah umur dan tidak menjual rokok pada ibu yang sedang hamil serta membebaskan kawasan dari asap rokok. Masyarakat tidak boleh merokok di tempat yang dilarang, faktanya tidak kontinyu hanya pertama saja melakukan razia atau beberapa kali saja melakukan operasi ke tempat yang dilarang merokok.
Bahkan aparat sendiri masih bisa merokok di tempat yang dilarang yang kebetulan tempat kerjanya sendiri. Sedangkan bila ada orang lain yang bukan warganya sudah pasti ditegur dan tidak boleh merokok bahkan disuruh baca tulisan larangan merokok itu.
Kembali pada topik pembatasan pada dampak zat adiktif bagi buruh dan petani di industri tembakau semuanya kembali pada pemerintah, tinggal pemerintah mau berada di koordinat mana. Kalau pemerintah fokus pada kepentingan kesehatan, mulai dari petani, buruh tembakau, dan industri rokok siapa yang akan bertanggung jawab bila tidak bisa makan dan mati kelaparan.
Begitu juga untuk industri rokok siapa yang akan bertanggung jawab bila industri rokok dan industri tembakau tidak bisa lagi bayar karyawan, bayar air minum, dan tidak bisa lagi bayar listrik. Sebaliknya bila pemerintah fokus pada kesejahteraan petani dan buruh tembakau otomatis untuk kepentingan kesehatan aparat harus lebih tegas lagi jangan kasih kendor karena kalau dikasih kendor, kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan akan terganggu bahkan bisa membahayakan keluarganya sendiri.
Untuk itu pembatasan dampak zat adiktif dari tembakau, dibutuhkan peran aparat harus tegas. Selama ini belum secara masif dijalankan oleh aparat untuk bersikap tegas. Tegas hanya kepada orang yang bukan warganya atau tamunya. Pimpinan perusahaan pun atau pimpinan instansi pun harus berani menindak tegas bawahannya atau karyawannya.
Jadi dalam PP 109/2012 sama sama penting untuk kesehatan dan nasib masa depan buruh dan petani dalam upaya pengendalian tembakau.
Editorial : Dedy Mulyadi