JAKARTA, Beritalima.com– Sejak akhir 2014, utang negara terus bertambah dan kini semakin menumpuk. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sampai April 2021 utang Pemerintah sudah Rp 6.527,29 triliun. Dengan utang sebesar itu, rasio utang Pemerintah 41,18 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Politisi senior yang juga ekonom di Komisi XI DPR RI, Dr Hj Anis Byarwati memberikan catatan terkait semakin besarnya beban Pemerintah. “Dengan kondisi utang seperti diatas, itu jelas tak bisa dikatakan aman seperti apa yang dikatakan Pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi),” kata Anis dalam keterangan pers pertengahan pekan ini.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini memberikan beberapa catatan terkait dengan semakin besarnya untuk Pemerintahan Jokowi. “Utang sebesar itu tidak bisa dikatakan aman karena
Anis menyatakan bahwa dengan kondisi utang diatas, tidak bisa dikatakan aman karena Debt to GDP ratio melonjak, dari 30 menjadi 41 persen atau meningkat lebih dari 10 persen dalam kurun setahun terakhir,” kata wakil rakyat dari Dapil Jakarta Timur ini.
Hal itu diperparah, kata Ketua DPP PKS bidang Ekonomi dan Keuangan ini, dengan defisit primary balance yang telah terjadi beberapa tahun terakhir.
“Tax ratio Indonesia lima tahun terakhir jauh dari optimal, bahkan di bawah 10 persen. Ini menjadi penyebab lebarnya jurang defisit, sehingga memperparah kondisi utang Pemerintah,” ungkap dia.
Pemegang gelar doktor (S3) Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu mengatakan, ketika utang negara semakin banyak, APBN juga semakin terbebani untuk pembayaran bunga utang.
Setiap tahun, kata Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini, lebih dari Rp 250 triliun APBN dialokasikan untuk pembayaran bunga utang. “Itu bahkan jauh di atas angka subsidi energi atau bantuan sosial yang diberitakan Pemerintah kepada rakyatnya.”
Anis menilai, problematika utang negara ini dimulai dari perencanaan anggaran dan kebijakan fiskal yang buruk sejak akhir 2014. Target pertumbuhan yang tidak realistis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 terlalu ambisius menyebabkan target pajak tinggi, sehingga berakibat pada shortfall perpajakan.
“Ini awal dari tidak terkendalinya utang Pemerintah. Supaya utang tidak naik terus, tentu harus ada upaya menguranginya,” kata Anis dengan harapan Pemerintah melakukan perbaikan dari perencanaan dan kebijakan fiskal dengan menjaganya dan defisit APBN sebab keberhasilan itu tidak terlepas dari pengelolaan utang secara profesional dan selalu dilakukan secara prudent. (akhir)