Surabaya, beritalima.com | Sebuah video yang memperlihatkan Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengikuti kesenian Sandur Madura viral di media sosial (Medsos). Dalam video tersebut Wali Kota Eri Cahyadi tampak ikut menari mengikuti irama musik tradisional tersebut.
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), Andri Arianto mengatakan, video tersebut menjadi simbol komitmen Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dalam menjaga denyut nadi kebudayaan di tengah dinamika kota multikultural. Menurutnya, kesenian dan kebudayaan di Surabaya bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan sebuah investasi sosial dan kultural di masa depan.
“Surabaya yang dikenal sebagai kota multikultural, tumbuh dari perjumpaan dan interaksi berbagai etnis, agama, bahasa, hingga tradisi budaya yang hidup berdampingan dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini, Wali Kota (Eri Cahyadi) dan jajarannya memiliki peran vital sebagai penjaga nilai, fasilitator kreativitas, dan penjamin keadilan budaya,” kata Andri, Kamis (18/12/2025).
Andri menjelaskan, multikultural masyarakat Surabaya terus bertumbuh sejak zaman dahulu. Karena kota ini menjadi pusat perekonomian dan jalur perdagangan nasional hingga internasional. “Hal itu menjadikannya ruang bagi beragam komunitas, mulai etnis Tionghoa, Arab, Bugis, Banjar, Bali, Madura dan sebagainya. Adanya itu semua, multikultural melalui migrasi dan relasi ekonomi di pelabuhan terus bergulir hingga saat ini,” jelas Andri.
Andri menyebutkan, kesenian Sandur Madura menjadi salah satu contoh nyata tradisi yang terus hidup dan beradaptasi di ruang urban Kota Surabaya. Seni pertunjukan rakyat yang memadukan tari, musik, dialog, humor, dan kritik sosial, dibawa oleh migrasi masyarakat Madura dan kini menjadi penanda penting kontribusi etnis tersebut bagi kesenian kota.
Di lingkungan kampung-kampung urban, lanjut Andri, Sandur bukan sekadar hiburan, akan tetapi juga sebagai sarana mempererat solidaritas komunitas. Pentas Sandur di Surabaya juga mengalami adaptasi, seperti durasi pertunjukan yang dipersingkat, tema cerita yang menyesuaikan realitas perkotaan, dan pergeseran ruang pentas ke balai warga atau panggung festival.
“Migrasi masyarakat Madura ke Surabaya membawa serta tradisi Sandur ke ruang kota seperti di lingkungan kampung-kampung urban dan sebagainya. Sandur bukan hanya dipentaskan sebagai hiburan, akan tetapi juga sebagai sarana mempererat solidaritas komunitas masyarakat Madura,” paparnya.
Namun, lanjut Andri, kesenian Sandur sendiri sudah jarang dipentaskan di ruang publik. Hal ini disebabkan tidak adanya generasi penerus atau minimnya regenerasi seniman Sandur di Kota Surabaya. “Bukan hanya itu, stereotip terhadap etnis tertentu juga mempengaruhi kurangnya mendapat ruang yang setara dalam agenda budaya kota,” sebutnya.
Andri menambahkan, kesenian Sandur saat ini tumbuh menjadi bagian dari mozaik kebudayaan Kota Surabaya yang multikultural. Dengan begitu, maka Surabaya tidak hanya sebagai kota yang melestarikan kesenian lokal, akan tetapi juga menjadi kota yang menghargai akar budaya masyarakat urban.
“Kota Surabaya adalah ruang hidup dari perjumpaan desa dan kota, tradisi dan modernitas. Dengan memberi ruang bagi Sandur untuk terus tumbuh dan tampil, Surabaya tidak hanya melestarikan satu kesenian daerah, akan tetapi juga meneguhkan dirinya sebagai kota yang menghargai akar budaya warganya,” pungkasnya. (*)








