Penulis: Dr. Lia Istifhama, Sekretaris MUI Jatim
Bulan suci Ramadhan bukan hanya menyajikan suasana religi yang menyejukkan bagi kaum umat Muslim yang melaksanakan serangkaian ibadah di dalamnya, melainkan juga menghadirkan ragam peristiwa sejarah yang penuh hikmah. Diantara peristiwa yang selalu dikenang di dalam bulan Ramadlan, yaitu wafatnya sang Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari pada 7 ramadhan 1366 Hiriyah (21 Juli 1947 Masehi).
KH. Hasyim Asyari merupakan Hadratus Syaikh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan sekaligus memiliki gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui fatwa jihad atau resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945. Resolusi jihad ini telah dimuat lengkap pada koran Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Oktober 1945, hal yang sama juga ada di Koran Suara Masyarakat.
Fatwa jihad inilah yang merupakan cikal bakal meledaknya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang sebelumnya telah terjadi perang selama 4 hari yaitu dari tanggal 26 hingga 29 Oktober 1945.
Dimulai dari tanggal 25 Oktober 1945 dengan tidak diijinkannya tentara Inggris masuk ke wilayah Surabaya, namun pada tanggal 26 Oktober tentara Inggris tetap masuk dan membangun pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk dan diisi senapan mesin. Inggris yang telah diketahui membonceng Belanda saat itu mendapatkan perlawanan dari pemuda-pemuda Surabaya dan kalangan santri Nadhliyin.
Fatwa Jihad menjadi sangat mempengaruhi semangat berperang dari para santri Nahdliyin saat itu karena dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau bukan hanya sebatas penggerak jihad para pahlawan saat itu, melainkan juga memiliki kapasitas komunikasi yang luar biasa. Sang pendiri Nahdlatul Ulama tersebut, secara tidak langsung telah menjadi tonggak sejarah kuatnya semangat nasionalisme melalui syiar hubbul wathon minal iman, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.
Dalam sebuah kaidah Islam, dijelaskan terkait hubbul wathon, yaitu oleh Al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat, yang mendefinisikan tanah air dengan al-wathan al-ashli.
اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ
Artinya : al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.
Meskipun sosok Sang Hadratus Syaikh sangat berpengaruh dalam pertahanan Kemerdekaan RI, namun baru-baru ini isu kontroversial muncul, yaitu polemik Kemendikbud Nadiem Makarim yang tidak mencantumkan sang pencetus Resolusi Jihad dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid II. Hal ini memantik protes banyak kalangan, bukan hanya dari tokoh NU. Mengingat, peristiwa sejarah yang menjadi cikal bakal hari Pahlawan adalah digerakkan oleh pejuang yang notabene kaum muda nahdliyyin saat itu. Terlebih, nama yang sangat tidak populer dengan sejarah kemerdekaan, yaitu Gubernur Belanda Van Mook dan tokoh komunis Henk Sneevliet, justru masuk dalam ‘kamus’ yang masih polemik tersebut.
Sebelum polemik kamus sejarah tersebut, sosok KH Hasyim Asy’ari menjadi perbincangan pasca diluncurkan buku bilingual Arab-Indonesia, Mahakarya Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari setebal 754 halaman. Mahakarya tersebut sangat penting untuk dipelajari banyak kalangan, mengingat isinya yang menyuarakan spirit keilmuan dan adab berilmu yang penting sebagai pondasi generasi bangsa yang sehat.