KUPANG, beritalima – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli) Provinsi NusaTenggara Timur mendorong pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur agar pola pengelolaan Hutan kembali kepada masyarakat.
Hal ini disampaikan Umbu Tamu Ridi, Adovkasi Wahli NTT dalam Diskusi Media yang mengambil tema “ Bagaimana Kesejangan dan Tantangan Hutan di Nusa Tenggara Timur” yang dilaksanakan di Kantor Wahli NTT, Rabu (21/12) lalu.
Ia mengatakan, pola pengelolaan hutan yang sampai dengan saat ini masih menggunakan kearifan lokal adalah Suku Boti, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dalam pengelolaan hutan berbasis komunitas.
Dalam diskusi tersebut, Umbu Tamu menyampaikan bahwa Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi kepulauan terdiri dari 566 pulau besar dan kecil, 42 pulau telah diberi nama sedangkan 524 belum bernama. Jajaran pulau besar adalah Pulau Flores, Pulau Sumba dan Pulau Timor serta gugusan Pulau Alor.
Menurut posisi geografis wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur terletak antara 8 -12 Lintang Selatan dan 118 – 125 Bujur Timur dengan luas wilayah daratan 47.394.90 Km2 dan luas perairan 200.000 Km2.
Dari luas daratan tersebut di atas maka, berdasarkan pemaduserasian Pola TGHK antara RTRP sesuai SK. Menteri Kehutanan No. 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni Tahun 1999 ditetapkan bahwa luas kawasan hutan Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 1.808.990 Ha atau 38,20 % dari luas daratan.
Luas kawasan hutan Nusa Tenggara Timur sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 sebesar 1.808.990 Ha dengan perincian sebagai berikut: (1) Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam Lindung yakni Cagar Alam seluas 66.650 Ha, Suaka Margasatwa 18.920 Ha, Taman Wisata Alam (darat, perairan) seluas 159.155 Ha, Taman Nasional 59.060 Ha, Hutan Bakau 40.695 Ha, Taman Buru 5.850 Ha, (2) Hutan Lindungn 731.220 Ha, Hutan Produksi Terbatas 197.250 Ha, Hutan Produksi Tetap 428.360 Ha, Hutan Produksi yang dapat dikonversi 101.830 Ha.
Dalam kaitan dengan aspek sosial berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa tenyata jumlah desa/kelurahan yang berada dalam kawasan hutan maupun yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan berjumlah 1.775 buah (69,09 %) dari total jumlah desa di Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 2.569 buah desa/kelurahan.
Sedangkan bila diklasifikasikan menurut fungsi pokok sebagaimana dituangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 adalah Hutan konservasi seluas 350.330 Ha, Hutan lindung 731.220 Ha, Hutan produksi 727.440 Ha,
Menurutnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) ini salah satu hal yang menjadi dilematis dalam pola pengelolaan hutan bersemi bersemi pada kebijakan pemerintah. Kedua, Pola pengelolaan hutan itu, dari sisi kebijakan mana hutan rakyat, hutan lindung tidak maksimal khusus di NTT dan pada umumnya di Indonesia.
Ketidakmaksimalan itu dalam pengelolaan hutan di Indonesia maka muncullah sebuah keputusan. Karena UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu pasal 1 ayat (6) masih menggambarkan bahwa hutan adalah milik negara, karena dengan itu maka pemerintah punya target bahwa hutan itu hutan pemerintah. Dengan itu, maka MK melakukan penafsiran dalam konstsitusional bersyarat yaitu UU MK No. 35 Tahun 2012 yakni menafsirkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pada Pasal 1 ayat (6), yang mana hutan milik pemerintah.
“ Jadi dalam pasal itu, Hutan adalah milik pemeritah diganti milik masyarakat. Itu satu hal yang menjadi media kekuatan besar bagi kita (masyarakat) dalam pola pengelolaan Hutan bersemi atau tidak kebermasyarakatan di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu pasal 1 ayat (6) dan UU MK No. 35 Tahun 2012”, katanya.
Kedua adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2016, dimana mengacu dari UU Mahkama Konstitusi No. 35 Tahun 2012 yang mengatakan Hutan Adat atau Hutan Masyarakat.
“ Jadi diambil dari Keputusan Meneteri Lingkungan Hidup yang mana mengakui perhutani perhutanan sosial. Dimana Perhutanan Sosial adalah kekuatan untuk masyarakat seluruh Indonesia bagaimana dalam pola pengelolaan hutan berbasis kebermasyaratan atau berbasis komunitas itu jebolan dari Keputusan MK dan Permen Lingkungan Hidup”, jelasnya.
Kemudian UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan PP 43 tahun 2014. Yang mana UU ini bagaimana desa punya kewenangan untuk melakukan bagaimana hak atas usulnya.
“ Misalnya dia memakai hutan desa, HKN dan lain sebagainya itu salah satu prinsip sudah menguatkan masyarakat untuk pengelolaan hutan secara komunitas. Jadi pengelolaan hutan secara komunitas adalah satu konsep, yang mana memadukan antara keputusan – keputusan ini sebetulnya pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat untuk mengelolahnya, terutama dua aspek yang harus dipertimbangkan yakni pertama, kelestarian dan keadilan ekonomi dalam proses pengelolaan hutan”, kata Umbu Ridi menambahkan.
Kemudian tantangan lainnya adalah masih ada perilaku – perilaku birokrasi/ pengambil kebijakan/ aparat pemerintahan yang masih terpaku atau mengacu pada peraturan – peraturan yang lama, atau konsep – konsep yang mana hutan itu dikuasai dan dikelolah oleh pemerintah.
Ketika konsep ini menjadi tabuh maka periliku – perilaku birokrasi tidak memiliki konsep ini, maka pola pengelolaan hutan di NTT akan semakin tidak terarah dalam pola pengelolaannya.
“ Kita di NTT dikenal sebagai wilayah yang notabennenya yang pengelolaan hutan secara adat. Misalnya di Sumba ketika mengambil hasil hutan bukan kayu punya aturan adat sendiri. Begitu juga di Desa Linamnutu, Kabupaten Timor Tengah Selatan ketika mereka melakukan pemotongan kayu pembangunan rumah mereka juga punya aturan sendiri bagaimana konservasi atau konsep pola pengelolaan hutan berbasis komunitas yang memang sejak dulu mereka punya konsep sendiri. Jadi hal itu, yang didorong oleh kita sekiranya pola pengelolaan hutan kembali kepada keadaan semula” ujar dia.
Karena memang pemerintah sudah melihat kebijakan – kebijakan yang mereka lakukan bersemi kebijakan pemerintahan itu tidak akurat dalam pola pengelolaan. Sehingga mereka berpikir bahwa harus dikembalikan kepada masyarakat untuk mengelolahnya secara baik.
“ Entah masyarakat itu mengelolahnya dengan kebudayaannya memang diakui dan dihormati, kita mengacu pasal 18b UUD 1945, bagaiman negara mengakui kearifan – kearifan lokal sepanjang masa hidupnya” jelas dia. (Ang)