Wajarkah Para Gubernur Menuntut Kenaikan Gaji

  • Whatsapp

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH

PARA gubernur se Indonesia selama dua hari, 20-21 Februari 2019 menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Padang, Sumatera Barat. Rakernas itu dipimpin oleh Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola yang resmi menjabat Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Longki menggantikan Soekarwo, mantan Gubernur Jawa Timur yang mengakhiri masajabatannya 12 Februari 2019 lalu..

Rakernas yang berlangsung di Hotel Grand Inna Padang itu, mengangkat tema ‘Reformasi dan Kebijakan Strategi untuk Mendukung Pengembangan Produk Unggulan dan Kerja Sama Antardaerah’. Dari 34 provinsi, gubernur yang hadir hanya 21 orang. Yang lainnya 10 provinsi wakil gubernur dan tiga provinsi diwakili asisten pemerintahan.

Tuan rumah, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menyebut, mahalnya harga tiket pesawat dan bagasi berbayar menjadi salah satu bahasan. Hal ini berakibat penurunan jumlah wisata atau pengunjung ke Sumbar. Selain itu juga sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian Sumbar. Mayoritas pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merugi besar, kata Irwan.

Longki Djanggola dalam pengantar Rakernas menyampaikan aspirasi untuk naik gaji. Ia mengeluh, soal gaji gubernur yang kalah jauh dibanding anggota DPRD. Ia menyontohkan provinsi yang dipimpinnya. Provinsi Sulteng APBD yang tidak terlalu besar, namun gaji anggota DPRD-nya bisa mencapai Rp 70 juta.

Mewakili gubernur se-Indonesia, ia meminta pemerintah menaikkan gaji gubernur. Untuk itulah, maka salah satu materi bahasan di APPSI adalah: kenaikan gaji untuk gubernur.

Secara langsung Longki menyampaikan masalah gaji para gubernur ini kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir pada pembukaan Rakernas APPSI itu. Sehingga Longki berharap curhatnya didengarkan pemerintah pusat.

Memang, kalau kita melihat gaji pokok, sebagai contoh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saja, hanya Rp 3,2 juta dan wakilnya (waktu itu) Sandiaga Uno, hanya Rp 2,6 juta. Lebih rendah dibandingkan dengan UMP (Upah Minimal Provinsi) buruh di Jakarta 2019 Rp 3,9 juta.

Tetapi, di samping gaji, gubernur mendapatkan berbagai tunjangan, biaya operasional, bagi hasil pajak dan retribusi. Bahkan, pemasukan lain-lain. Memang, “penghasilan” antara satu daerah dengan daerah lainnya tidak sama. Sehingga ada pro-kotra tentang tuntutan kenaikan gaji gubernur-wakil gubernur itu. Namun aspirasi dari daerah “kecil dan miskin” layak dipertimbangkan.

Kecuali DKI Jakarta yang sudah pasti penghasilan gubernur dan wakilnya paling besar, juga beberapa daerah, umumnya juga sudah memadai.
Memang dari sisi jumlah uang yang masuk ke kantong pribadi gubernur setiap bulan tidak besar. Namun para gubernur dan wakilnya mendapatkan Biaya Penunjang Operasional (BPO). BPO itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2000. Pada pasal 9 dijelaskan bahwa besaran BPO tergantung dari klasifikasi besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dari data yang dilansir oleh BPS, provinsi dengan PAD terbesar di 2018 adalah DKI Jakarta sebesar Rp 41,48 triliun. Sedangkan PAD yang terendah Sulawesi Barat, sebesar Rp 299 miliar. Untuk menghitung BPO, PAD DKI Jakarta masuk dalam kategori penghitungan paling tinggi 0,15%. Jika dihitung maka BPO DKI Jakarta sebesar Rp 62,23 miliar per tahun. Sementara untuk Sulawesi Barat masuk dalam kategori penghitungan paling tinggi 0,25%, yang hasil penghitungan BPO-nya mencapai Rp 747,5 juta.

Melalui BPO seluruh operasional gubernur dan wakilnya telah dijamin. Mulai dari pakaian dinas, pemeliharaan kendaraan dinas, kesehatan, hingga urusan dapur rumah tangga seperti, kebutuhan dapur, isi gas, juru masak, kebersihan rumah dinas, konsumsi tamu dan lainnya. BPO berbeda dengan tunjangan yang masuk kantong pribadi. Sisa dari BPO itu akan kembali menjadi kas daerah.

Mari kita lihat penghasilan gubernur-wakil gubernur tertinggi di Indonesia. Ternyata, berdasarkan data tiga tahun terakhir dari Kementerian Keuangan, ternyata penghasilan gubernur tertinggi adalah gubernur Jawa Timur. Penghasilannya per-bulan Rp 642.360.003, atau per-tahun sebesar Rp 7.708.320.036. Wakil gubernurnya Rp 627.240.003 per-bulan atau Rp 7.526.880.036 per tahun.

Oh ya, ini yang dicatat tentunya Gubernur Jatim H.Soekarwo. Walaupun demikian tentu tidak akan berubah dengan penggantinya: Khofifah Indar Parawansa saat ini.

Berikutnya Jabar, penghasilan gubernur per-bulan Rp 603,42 juta dan wakilnya Rp 584,94 juta. Jateng, gubernur Rp 438, 09 juta- wakilnya Rp 422,97 juta. Kaltim, gubernurnya Rp 344,08 juta dan wakilnya Rp 328, 96 juta. Sumut, gubernur Rp 327,25 juta dan wakilnya Rp 312,13 juta.

Bagaimana dengan provinsi lainnya? Tercatat, 10 provinsi yang pendapatan gubernurnya terandah adalah: NTT, Bengkulu, Bangka Belitung, Sulteng, Maluku, Gorontalo, Kalimantan Utara, Papua Barat, Maluku Utara dan Sulawesi Barat. Pendapatan per-bulannya berkisar antara Rp 141 juta hingga Rp 142 juta.

Data yang berhasil kami himpun cukup beragam. Namun, pada umumnya penghasilan para gubernur dengan wakil gubernur itu masih layak. Sehingga tidak mengherankan, dalam setiap Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) para politikus berebut untuk menjadi “penguasa”.

Kalau dilihat dari gaji, memang rendah. Tetapi, bila dilihat dari pendapatan atau penghasilan, sudah memadai. Nah, apakah masih wajar, kalau para gubernur menuntut kenaikan gaji? (yousri)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *