Jakarta — Sejak wacana penundaan Pemilu digelindingkan oleh Ketum PKB dan juga disuarakan Ketum PG serta diamini Ketum PAN, sejumlah temen media bertanya ke saya sebagai salah satu unsur Pimpinan MPR RI, maka yang bisa saya katakan adalah bahwa MPR RI dalam hal ini pimpinan MPR dan Fraksi2 di MPR secara formal belum pernah membicarakan soal wacana penundaan Pemilu 2024.
”Yang ada tentu kami pimpinan MPR mengikuti wacana yang ada di ruang publik dan media dan kemudian saling memberikan komentar di WAG internal. Kalo soal konten komentarnya ya tentu sesuai dengan sikap partai masing-masing,”kata Wakil Ketua MPR , Arsul Sani dalam pernyataan tertulisnya, Senin, (28/2).
Menurut Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengakui dirinya
sendiri sebagai salah satu Waka MPR RI dari PPP berpendapat bahwa meskipun penundaan Pemilu memang bisa dilakukan dengan amandemen UUD oleh MPR.
”Namun menurut saya secara moral konstitusi tidak pas untuk melakukan amandemen UUD jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan apakah rakyat setuju pemilu ditunda,”kata Arsul.
Legislator dari dapil Jawa Tengah ini, . jika hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk merubah UUD NRI 1945 , maka meski syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi, menurut Arsul ada kesan “abuse of power” oleh MPR tidak akan bisa dihindari.
UUD NRI 1945 itu jelas menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia ini adalah rakyat. Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yabg akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa 5 tahun yang akan datang.
”Nah secara moral sebagai anggota MPR-RI saya melihat tidak elok bahwa sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR justru mereduksi hak pemilik kedaulatan, yakni rakyat, jika tanpa bertanya kepada rakyat itu sendiri yang memiliki kedaulatan,”katanya..
Jadi, katanya, tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat apakah mereka setuju hak konstitusional-nya untuk memilih pemegang mandat 5 tahunan baik di rumpun eksekutif maupun legislatif ditunda. (ar)