JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua DPD RI, Prof Dr Darmayanti Lubis mengatakan, jumlah tenaga guru honorer di Kementerian Pemberdayaan
Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (PANRB) tak sama dengan yang ada di Badan Kepegawaian Nasional (BKN) maupun Badan Kepegawaian Daerah.
“Itu menjadi salah satu penyebab lambatnya penyelesaian masalah tenaga guru honorer di tanah air,” kata Darmayanti dalam silaturahmi dan diskusi bertajuk Upaya Mencari Solusi Penyelesaian Honorer Yang Sejahtera’ di Medan, akhir pekan lalu.
Dikatakan senator dari Dapil Provinsi Sumatera Utara itu, persoalan tanaga honorer ini sudah lama. Bahkan ada tenaga honorer yang sudah bekerja 20 tahun. Sepanjang waktu itu, sudah banyak kebijakan yang dijanjikan. Tapi sampai saat ini belum ada penyelesaian yang komprehensif.
Padahal, kata Darmayanti, para tenaga honorer ini berharap menjadi PNS. Pada 2005, mereka juga sudah didata dan diikutkan tes untuk CPNS. “Lulus, tetapi hanya sedikit yang tertampung. Sisanya 439.000 di Forum K2. Jika ditotal, bisa mencapai 1 juta,” kata Darmayanti.
Tahun lalu, ungkap Komite DPD RI mengundang Manpan RB membicarakan persoalan tenaga honorer. “Inti pembicaraaan itu, Menpan RB minta waktu, karena masih melakukan pendataan,” ungkap perempuan berhijab dari kalangan akademisi tersebut.
Lambatnya penyelesaian persoalan tenaga honorer ini, ungkap Darmayanti, tidak terlepas dari political will pengambil kebijakan di negara ini. Walaupun pemerintah memiliki keingian menyelesaikan masalah ini, tetapi engan data yang dimiliki lembaga terkait dia mengaku pesimis hal ini akan tuntas. “Karena mereka tidak memiliki data yang valid.”
Selain itu, sambung perempuan kelahiran Binjai, Sumatera Utara 6 Mei 1951 tersebut, persoalan honorer ini kembali memuncak 2017 dengan keluarnya UU No: 5 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satu di dalam UU itu tentang penerimaan PNS dibatasi pada usia 35 tahun. Karenanya, UU ASN bakal dilakukan revisi dengan memasukkan batas 35 tahun atau diberi mereka kebijakan affirmative action.
Kalau diamati ada kesalahan, harusnya di UU ini ada peralihan. Disitulah honorer itu dalam posisi tidak terpayungi secara hukum. Dia lepas dari payung hukum. Padahal, masa baktinya, sudah ada yang 15 hingga 20 tahun.
“Kan tidak masuk diakal, tidak pantas jika tidak kita bela. Jadi sekarang, pemerintah memberikan beberapa solusi. Tapi itu pun lari dari harapan honorer ini.”
Memang sebut dia, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa alternatif untuk menyelesaikan masalah itu. Salah satunya dengan mengeluarkan Pengangkatan Pegawai dengan Perjanjian Kerja (P3K), namun langkah ini dinilai belum memberikan solusi atas tuntutan honorer yang berharap diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
“Kenapa dia mengeluarkan sesuatu tapi tidak memberikan solusi. PNS tidak boleh, revisi UU bakal lama. P3K juga tidak memberikan kepastian bagi honorer. Bahkan kebijakan P3K ini juga belum memiliki regulasi yang jelas.”
Dia mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer ini. “Sebenarnya kita marah. Ini berarti tidak benar-benar mencari solusi. Kita baca ini akan diproses. Akan-akan nasib orang, sudah 15 tahun,” kata dia.
Meski begitu, Darmayanti menyerahkan keputusan kepada tenaga honorer. “Kita tidak mendesak, sekarang kita serahkan ke honorer mau ambil sikap yang mana,” demikian Darmayanti Lubis. (akhir)