JAKARTA, Beritalima.com– Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto M.Eng menagih janji Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait pembentukan lembaga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Soalnya, Perpres tersenut, kata anggota Komisi VII DPR RI bidang Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH) itu menjadi dasar penataan lembaga riset dan inovasi di Indonesia. Dan, ini sebagai tindaklanjut dari amanat UU No: 11/2019 tentang Sistem Nasional Iptek.
Sebelumnya, kata Mulyanto dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com akhir pekan ini, Pemerintahan Jokowi sudah berjanji akan menerbitkan Perpres itu akhir tahun lalu, kemudian mundur menjadi akhir Maret 2020.
Namun, hingga akhir semester 2020 ini, Prepres yang dinanti tidak juga terbit. Legislator dari Dapil III Provinsi Banten itu menilai, Pemerintah tidak serius mengatur urusan riset dan inovasi ini.”Ini sudah lewat enam bulan sejak BRIN dibentuk tetapi Perpres untuk itu belum juga belum ada. Akibatnya, banyak pertanyaan dari kalangan peneliti yang merasa bingung dengan arah kebijakan Pemerintah terkait masalah riset dan inovasi ini.
Apakah seluruh lembaga riset Pemerintah, termasuk juga Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang berdiri berdasarkan undang-undang khusus, juga akan dilebur menjadi satu dalam BRIN?
Bagaimana pula dengan badan litbang di Kementerian teknis, Apakah juga akan ikut dilebur kedalam BRIN? Pertanyaan-pertanyaan itu sangat penting dijawab Pemerintah melalui Perpres BRIN. Jangan biarkan berlarut-larut,” kata Mulyanto.
Politisi senior partai berlambang setangkai padi diapit bulan sabit ini menambahkan, sesuai dengan pakem yang ada semestinya Pemerintah tidak menunda pembentukan kelembagaan BRIN. Penundaan ini sangat menghambat kerja pembangunan riset dan inovasi nasional. “Jangan sampai masyarakat khususnya para peneliti bertanya-tanya, ada apa ini? Ada tarik ulur kepentingan politik apa? Ini preseden buruk,” jelas Mulyanto.
Ditegaskan, tantangan pembangunan bangsa saat ini sangat berat. Itu sebabnya diperlukan kontribusi bidang riset dan inovasi. Mulyanto berpendapat bangsa ini sudah melalui masa “boom” komoditas, dimana medan kompetisi industri dan pembangunan telah bergeser dari keunggulan sumberdaya alam (comparative advantage) menuju pada keunggulan bersaing (competitive advantage). Dan nilai tambah serta daya saing produk tersebut sangat dipengaruhi oleh sentuhan teknologi dan inovasi.
Namun, ironisnya, kata Mulyanto, indikator produktivitas Indonesia cenderung turun. Tingkat produktivitas pekerja Indonesia dalam periode 2010-2017 berada pada level rendah, hanya tumbuh 3,8 persen, lebih lambat jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Thailand (5,3 persen), Vietnam (5,8 persen), Philipina (4,1 persen), dan Kamboja (4,3 persen).
Bahkan, indikator Total Factor Productivity (TFP) Indonesia pada periode yang sama tumbuh negatif -1,5 persen, berada di bawah capaian Thailand (0,6 persen), Malaysia (0,5 persen), Vietnam (1,8 persen), Philipina (1,4 persen), dan Kamboja (1,3 persen).
Untuk dapat lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah dan beralih menjadi negara maju, Mulyanto mendesak Pemerintah memaksimalkan pertumbuhan produktivitas melalui peningkatan kualitas SDM dan inovasi teknologi. “Efisiensi investasi kita juga masih tergolong rendah. Untuk menghasilkan output tertentu, membutuhkan investasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan di Negara tetangga. Apa penyebabnya? Ini karena lemahnya faktor inovasi teknologi dan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) kita.
Inefisisensi itu karena semakin turunnya kesiapan teknologi dan kapasitas inovasi Indonesia dalam memanfaatkan investasi yang masuk. Pemanfaatan teknologi secara luas dalam proses produksi juga memerlukan pembenahan kualitas sumber daya manusia yang mampu mengikuti perkembangan teknologi sehingga dapat menjadi tenaga kerja yang handal.
Karenanya jangan heran kalau yang terjadi adalah de-industrialisasi dini yang berkelanjutan. Sektor industri kita terus merosot sebelum mencapai puncaknya. Pemerintah seharusnya serius membenahi soal ini. Jangan untuk mengurusi kelembagaan BRIN saja, sudah lebih dari 6 bulan belum juga beres. Ini kan aneh,” tandas doktor nuklir lulusan Jepang ini. (akhir)