Oleh :
Rudi S Kamri
Kalau Anda ingin dapat jabatan negara mungkin Anda bisa ikuti cara Budi Arie Setiadi, buat konferensi pers, pura-pura ngambek lalu membubarkan organisasi. Tapi setelah dikasih jabatan wakil menteri, dia tersenyum lebar tidak jadi bubar. Strategi norak ini ternyata ampuh juga. Semua orang mafhum, relawan yang satu ini dari dulu ambisius ingin mengharap jabatan dari dukungannya terhadap Jokowi. Dia sejatinya bukan relawan tapi pamrihwan sejati.
Pada Jum’at (25/10/2019) disamping Budi Arie ada 11 orang lagi yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Wakil Menteri. Dari 12 orang yang ditunjuk, menurut saya hanya empat orang yang pantas didapuk sebagai Wakil Menteri. Yaitu, Wamen Luar Negeri, Mahendra Siregar, Wamen Agama Zainut Tauhid Sa’adi dan Wamen Keuangan, Suahasil Nazara serta Wamen BUMN Budi Gunadi Sadikin. Keempat orang tersebut menurut saya memang pantas ditunjuk jadi seorang Wamen karena benar-benar kualified di bidangnya dan benar-benar dibutuhkan untuk memback-up sang menteri. Tapi lainnya menurut saya hanya bagi-bagi kursi dan aksi balas budi ala Jokowi.
Seperti porto folio kementerian desa, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, PUPR dan yang lain sejatinya tidak perlu seorang Wamen. Lima tahun lalu kementrian-kementrian tersebut tidak ada wakil menteri. Karena sudah ada deputi-deputi atau dirjen-dirjen. Saya khawatir dengan adanya wakil menteri semakin memperpanjang birokrasi dan mungkin juga ada matahari kembar di lembaga itu, karena merasa sama-sama dipilih Presiden secara langsung.
Presiden Jokowi seolah melawan ucapannya sendiri yang menginginkan birokrasi yang sederhana dan ramping. Aroma balas budi dan agak pemaksaan kental terlihat dalam penunjukan wakil menteri ini. Sebagai contoh bagaimana mungkin Wahyu Sakti Trenggono mantan Bendahara Tim Kampanye Nasionalisme (TKN) yang merupakan pengusaha BTS dan tidak punya rekam jejak keilmuan di bidang strategi pertahanan negara tiba-tiba ditunjuk jadi Wakil Menteri Pertahanan. Semua orang yang mengerti tentang sistem pertahanan negara dibuat geleng-geleng kepala. Aneh tapi nyata.
Presiden Jokowi ternyata belum mampu menunjukkan kapasitasnya sebagai manusia merdeka dalam penyusunan kabinet ini. Ada indikasi kuat dalam penunjukan para Wamen ini, Presiden Jokowi hanya sekedar mengakomodasi kelompok tertentu dan aksi balas budi.
Di samping itu selain berwajah keras dan garang, kabinet ini juga amburadul. Salah satunya tentang penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Nadiem Makarim lebih menguasai konsep ‘hard skill’ tapi minus konsep ‘soft skill’. Padahal PR bangsa ini yang utama sejatinya bukan sekedar membuat anak jadi pintar dan cerdas tapi juga berkarakter Indonesiawi dan punya jiwa nasionalisme yang tinggi. Saya khawatir pendidikan nasional di tangan Nadiem hanya akan melahirkan generasi Z yang pintar dan digitalis tapi kehilangan jati diri dan budi pekerti keindonesiaan.
Entahlah apa yang terjadi dengan Presiden Jokowi. Partai-partai pendukung lain seperti Hanura, PKPI dan PBB yang belum kebagian kursi yang merasa berkeringat sudah mulai teriak sumbang. Sama-sama tidak lolos ‘parliamentary threshold’ mengapa hanya Perindo dan PSI yang dapat kursi ? Dimana keadilan, kata mereka. Bahkan yang tidak berkeringat seperti Gerindra justru dapat dua kursi.
Entah jabatan apa lagi yang akan dicoba diada-adakan oleh Presiden Jokowi untuk menampung mereka. Siapa tahu ada jabatan Wakilnya Wakil Menteri. Hmmm…
Salam SATU Indonesia
26102019