JAKARTA, Beritalima.com– Wakil rakyat di Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan&Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup, Dr H Mulyanto mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memasukan abu batu bara sebagai limbah bahan berbahaya atau beracun (B3).
Alasannya, kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, saat ini limbah batu bara masih dikategorikan sebagai limbah saja, pengelolaan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) masih centang-perenang sehingga banyak dikeluhkan publik. Apalagi jika itu dianggap bukan limbah B3. Patut diduga limbah itu dikelola secara serampangan.
Sebab itu, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan ini meminta Pemerintahan Jokowi berlaku adil dan memperhatikan kepentingan kesehatan dan lingkungan masyarakat luas.
“Jangan kalah desakan pengusaha. Negara diperintahkan Pembukaan Konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah serta menjalankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tidak untuk membuat keputusan sepihak yang membahayakan kesehatan dan lingkungan masa depan bangsa ini, seperti dihapuskannya abu batu bara dari kategori sebagai limbah B3,” tegas Mulyanto.
Seperti diketahui, selama ini pengelolaan limbah abu batu bara sering menimbulkan keluhan masyarakat. Pembuangan cairan limbah batu bara yang disalurkan ke laut ditengarai berdampak pada kehidupan nelayan yang sulit mendapatkan ikan. Mengingat 91 persen Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) umumnya berada di pesisir pantai.
Sedangkan limbah abu batu bara yang mengudara dan didemo warga seperti di Cilacap, Marunda, Suralaya dan tempat-tempat lainnya diduga menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). “Apatah lagi bila FABA tidak dikategorikan sebagai limbah B3. Maka dapat dipastikan aspek kehati-hatian dalam pengelolaan (transportasi, handling, treatment dan disposal) FABA akan semakin kendor.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harus bisa menjelaskan soal ini kepada publik secara terang-benderang. “Apa dasar riset kesehatan lingkungan yang telah dilakukan, sehingga secara ilmiah terbukti abu batu bara bukanlah limbah yang berbahaya dan beracun? Karenanya bisa dicabut dari kategori B3,” kata Mulyanto.
Otoritas lingkungan hidup, sebagai garda terdepan yang dipercaya sebagai penjaga kesehatan lingkungan publik, jangan mau didikte para pengusaha dengan mengorbankan kesehatan publik. Karena dari berbagai riset, termasuk yang dilakukan badan Litbang Kementerian ESDM, dalam limbah batu bara banyak mengandung logam berat seperti tembaga, arsenik, kromium, merkuri, timbal, dll tergantung jenis batubaranya.
“Zat-zat yang bersifat racun dalam abu batubara ini diperkirakan tidak hanya mencemari tanah, udara dan air setempat, tetapi juga akan menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia melalui rantai makanan,” jelas Mulyanto.
Doktor tehnik nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 menanyakan, dimana prinsip kehati-hatian (prudensial), yang biasanya dianut oleh otoritas lingkungan hidup.
Meski diketahui, limbah abu batubara bermanfaat untuk berbagai keperluan, karena dapat diolah menjadi berbagai produk batako, konkret penahan ombak, tanah urugan, dll, namun tidak berarti dampak kesehatan lingkungan dari limbah dengan volume raksasa tersebut dapat diabaikan.”
Seperti diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementrian ESDM 2018, proyeksi kebutuhan batubara hingga 2027 mencapai 162 juta ton. Prediksi potensi FABA yang dihasilkan, dengan asumsi 10 persen dari pemakaian batu bara 16,2 juta ton. Itu jumlah yang sangat besar.
Mulyanto menambahkan, strategi ketenagalistrikan nasional ke depan dengan memperhatikan cadangan energi dan kesehatan lingkungan adalah dengan mengejar ketertinggalan bauran dari sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) dan akan terus mengurangi listrik dari sumber energi fosil termasuk PLTU.
Namun, pada prakteknya Pemenerintahan Jokowi tidak konsisten. Penambahan pembangkit listrik 35.000 MW justru masih didominasi PLTU bukan oleh EBT. Ketika negara lain ramai mengurangi PLTU dan beralih ke EBT kita malah menggenjot PLTU.
“Dengan perubahan kategori limbah abu batubara yang tidak lagi sebagai limbah B3, maka artinya kita bukannya sedang “ngerem” energi fosil tadi justru sedang “ngegas”. Ini kan tidak konsisten,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)