Beritalima.com ( Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh akan mengadakan diskusi lintas sektoral untuk membahas tata ruang di Aceh. Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, menyampaikan bahwa diskusi tersebut akan melibatkan berbagai pihak, termasuk ulama, akademisi, masyarakat sipil, dan lembaga lainnya.
“Kami ingin membangun kesadaran bersama terkait pentingnya tata ruang yang berkelanjutan di Aceh. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan masukan berharga bagi pemerintah dan masyarakat dalam menjaga lingkungan,” ujar Shalihin, Senin (23/12).
Menurut Shalihin, setiap tahun pemerintah membahas pembangunan berkelanjutan, tetapi penerapannya di lapangan masih perlu evaluasi. Salah satu fokus utama adalah memastikan bahwa lahan rawan bencana tidak lagi dijadikan area permukiman. “Kita harus bijak dalam memanfaatkan lahan. Jangan sampai daerah rawan bencana tetap digunakan untuk pembangunan yang justru membahayakan masyarakat,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa Aceh memiliki tantangan besar dalam mengembangkan industrinya. “Industri di Aceh seperti mimpi di siang bolong. Jangan harap bisa maju selama bahan mentah dari Aceh terus dibawa ke luar tanpa memberikan manfaat nyata bagi daerah,” tegasnya.
Salah satu kasus yang menjadi perhatian WALHI adalah aktivitas PT Tusam Lestari. Menurut Shalihin, langkah perusahaan tersebut bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan pemberian lahan. “Ini harus dijadikan pelajaran penting. Pemerintah perlu mendorong pengelolaan lahan yang tidak hanya menguntungkan pihak tertentu, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat luas,” ungkapnya.
Selain itu, WALHI meminta pemerintah menunda pemberian izin baru untuk perusahaan yang ingin mengelola lahan yang menjadi habitat satwa liar. Hal ini dinilai penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem di Aceh.
“Kami mendesak pemerintah agar lebih berhati-hati dalam memberikan izin kepada perusahaan tambang atau perkebunan yang berada di kawasan yang menjadi tempat hidup satwa liar. Kelestarian lingkungan harus menjadi prioritas,” tambah Shalihin.
Ia juga menegaskan bahwa langkah penundaan ini bukan untuk menghambat investasi, melainkan untuk memastikan investasi yang masuk ke Aceh ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem yang ada. “Jika lingkungan rusak, yang menderita bukan hanya satwa liar, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut,” katanya.
Menurut WALHI, pelibatan ulama dalam diskusi tata ruang sangat penting. Ulama memiliki peran besar dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan berdasarkan nilai-nilai agama.
“Pendekatan agama dapat menjadi salah satu cara efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya tata ruang yang berkelanjutan,” jelas Shalihin.
WALHI juga mendorong pemerintah Aceh untuk membuat kebijakan yang lebih tegas terkait perlindungan lingkungan. “Kami berharap pemerintah Aceh lebih visioner dalam merencanakan tata ruang, sehingga pembangunan tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan generasi mendatang,” katanya.
Dengan diskusi lintas sektoral ini, WALHI berharap lahirnya rekomendasi konkret yang dapat menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan tata ruang di Aceh. “Aceh memiliki potensi besar untuk menjadi contoh provinsi dengan tata ruang yang berkelanjutan. Semua pihak harus bekerja sama untuk mewujudkannya,” tutup Shalihin.”(A79)