Warga Lelah Dijadikan Alat Wacana: Haikal Ungkap Luka Sosial di Balik Tambang Pesanggaran

  • Whatsapp
Foto: Mahasin Haikal Amanullah, akademisi dan Lurah Mukadimah Institute, saat eksplorasi di Petak 56 Pesanggaran, Banyuwangi, Bersama Komite Mahasiswa Diaspora Banyuwangi.(Doc, Istimewa)

BANYUWANGI,Beritalima.com – Di tengah citra Banyuwangi sebagai daerah yang terus berlari menuju modernitas, ada satu simpul kecil di selatan yang menyimpan cerita kelam tentang ekologi dan ketimpangan sosial. Tepat di garis lintang -8.6086918 dan bujur 114.0738545, kawasan Petak 56 di Desa Pesanggaran menjadi potret bagaimana alam dan masyarakat berjalan dalam pusaran paradoks.

Kondisi itu diungkapkan akademisi sekaligus Lurah Mukadimah Institute, Mahasin Haikal Amanullah, usai melakukan eksplorasi dan riset kolektif bersama Komite Mahasiswa Diaspora Banyuwangi (KMDB) pada 1 Desember 2025 lalu. Haikal menyebut, persoalan di Pesanggaran tidak bisa dipahami hanya sebagai kerusakan lingkungan semata. Ia menyebut adanya noumena, realitas tersembunyi yang harus dibedah dengan pendekatan sistemik.

Bacaan Lainnya

Menurut Haikal, tragedi ekologis di Petak 56 adalah efek domino dari hal yang jauh lebih dalam: kekosongan tata kelola pemerintahan desa.

“Mengacu pada antropo-ekologi, Illegal Mining Expands Where the State Withdraws. Tambang ilegal tumbuh ketika negara mundur,” tegas Haikal, mengutip pemikiran Roy Abraham Rappaport.

Ia menilai, pemerintahan desa kehilangan legitimasi sosial. Ketika itu terjadi, masyarakat akan membentuk keadilan versinya sendiri dan di Pesanggaran, itu diwujudkan lewat aktivitas penambangan tanpa izin (PETI).

Haikal menyebut Petak 56 kini berada dalam “zona abu-abu”, di mana hukum, moral, dan ekologi saling berbenturan, persis dengan tesis Giorgio Agamben tentang ruang yang berada di luar normalitas hukum.

Ia menegaskan bahwa pelaku PETI bukan satu-satunya pihak yang layak disalahkan. Ada variabel penyebab yang selama ini tidak tersentuh, seperti minimnya forum dialog, otoritas desa yang tertutup, dan relasi kuasa yang timpang.

Pernyataan Haikal diamini oleh salah satu tokoh PETI berinisial RI, yang secara implisit mengkritik kinerja desa.

“Pemerintah desa sedikit abai pada kemaslahatan desa. Asal tahu saja, kita juga terlibat dalam pembangunan mikro desa, termasuk pavingisasi,” ujar RI, sebagaimana dikutip Haikal.

Secara lapangan, aktivitas tambang ilegal di Petak 56 telah meninggalkan bekas luka ekologis: lubang galian terbengkalai, rusaknya vegetasi, serta gangguan ekosistem dan sistem air.

Namun Haikal menyoroti ketimpangan wacana. Kritik keras hampir selalu diarahkan kepada PT Bumi Suksesindo (PT BSI), sementara PETI kerap luput dari sorotan serius.

“Jika soal dampak ekologis, kondisi Petak 56 justru lebih mengkhawatirkan. Di sana tidak ada transformasi ekologis. Berbeda dengan PT BSI yang menjalankan reklamasi progresif,” ujarnya.

Haikal juga menilai diskursus tambang di Banyuwangi kerap pincang. Ia meminjam istilah Paul Ricoeur, Hermeneutics of Suspicion, untuk menjelaskan bahwa wacana publik sering dibangun di atas motif laten dan dalam hal ini, illegal mining menjadi motif yang tak pernah benar-benar diungkap.

“Kontra saja tidak cukup, apalagi jika kritiknya selektif,” kata Haikal. Ia melihat sebagian kritik terhadap PT BSI mengandung doxa atau dogma sosial yang lebih kental daripada data.

Ironisnya, kata Haikal, suara paling keras justru bukan berasal dari warga lokal.

“Yang melempar bola panas sering kali bukan warga setempat, melainkan pihak luar yang hilang begitu konflik meredup,” ujarnya.

Di tengah polemik panjang soal tambang berizin dan ilegal, Haikal mengajak publik membuka kemungkinan narasi baru: narasi yang memulihkan, bukan memecah.

“Kritik harus sanggup mengkritik dirinya sendiri, membersihkan bias, dan menghadirkan data konkret. Jika wacana hanya memecah masyarakat lokal, lalu apa bentuk narasi alternatif yang dapat memulihkan relasi sosial-ekologis di sana?” terang Haikal.

Haikal yang berasal dari Dusun Sukopuro Wetan, Srono, menambahkan temuan yang tak kalah penting. Warga Pesanggaran, kata dia, justru lelah dijadikan komoditas wacana.

“Mereka merasa tersandera konflik yang bukan berasal dari mereka. Sementara para peniup wacana dari luar hilang begitu saja saat tensi konflik menurun,” ungkapnya.

Ia menutup dengan pengingat keras: jangan jadikan wilayah selatan Banyuwangi sebagai gejala dari prahara wacana yang terus diproduksi tanpa arah pemulihan.(Abi//B5)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait