PONOROGO, beritalima.com- Beberapa warga yang tinggal dua rumah dinas milik PT KAI dan sejumlah lahan di Ponorogo, Jawa Timur, menolak perintah pengosongan. Karena mereka menilai rumah dan lahan yang ada bukan milik PT KAI dan statusnya adalah milik negara.
Ketua Kelompok Mayapada Pinasti, kelompok warga yang menempati lahan PT KAI dari Madiun hingga Ponorogo, Jarmianto, mengatakan, pada pekan ini ada dua warga di Kelurahan Banyudono yang telah disurati PT KAI agar mengosongkan rumah dinas yang saat ini mereka tempati. Kedua rumah berada di Jalan Soekarno Hatta, Ponorogo, yakni rumah nomor 259 dan 261.
Menurut Jarmianto, saat ini lahan yang ditempati sekitar 1.000 warga dari Madiun Kota sampai Slahung, Ponorogo, merupakan tanah milik negara. Ini karena sejak tahun 1980 atau tiga tahun setelah PT KAI yang saat itu bernama PJKA tidak memanfaatkan lahan yang ada sebagai sarana transportasi atau sarana bisnis.
“Menurut Keppres 32 Tahun 1979, tanah negara yang sudah diduduki masyarakat dan jadi perkampungan akan diprioritaskan haknya sesuai dengan persyaratan,” terang Jarmianto, kepada wartawan, Jumat 23 Desember 2016.
Sedangkan untuk dua rumah dan juga lahan yang kini ditempati warga, memang sudah pernah ditawari untuk membayar sewa. Namun tarifnya cukup tinggi sehingga warga tidak sanggup. Apalagi, mereka menganggap saat ini tanah tersebut merupakan tanah negara.
“Kami siap kalaupun hanya dapat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB). Termasuk menertibkan diri dengan membayar pajak,” tambah Jarmianto.
Sedangkan untuk rumah nomor 259 dan 261, PT KAI telah melayangkan surat perintah pengosongan. Namun penghuni dan warga sekitarnya menyatakan menolak dengan dasar pemikiran tanah tersebut merupakan milik negara.
“Awal pekan ini diberikan ke warga dan batasnya tujuh hari (untuk pengosongan). Kami menolak,” kata salah satu warga, Sunardi.
Karena itu, warga kemudian memasang banner penolakan terhadap perintah pengosongan. Mereka juga membentangkan kawat di sekitar rumah yang dimaksud oleh surat PT KAI. Ada pula tenda yang dijadikan tempat berjaga-jaga.
Sementara itu, Humas PT KAI Daop 7 Madiun, Surpiyanto, membenarkan pihaknya telah mengirimkan surat peringatan pengosongan pertama kepada kedua penghuni rumah. Yaitu cucu dan anak dari mantan para pegawai PT KAI.
“Itu baru SP1. Nantinya akan ada SP2, lalu ada proses berikutnya dan paling akhir adalah pengosongan paksa. Itu paling akhir,” terang Supriyanto.
Menurutnya lagi, sebenarnya kepada para warga termasuk yang menghuni rumah dinas, telah ditawarkan kontrak atau sewa dengan nilai tertentu. Diakuinya memang ada kenaikan tarif karena penyesuaian harga berbagai barang.
“Penyewaan lahan dan rumah adalah usaha yang sah bagi PT KAI sebagai BUMN. Tanah itu juga masih milik PT KAI yang ditunjukkan ground card atau pakai sertifikat model Belanda. Kalau mereka tidak sanggup membayar berarti harus pindah,” tegas Supriyanto. (Dibyo)