Sorotan: Yousri Nur Raja Agam MH
HARI Kamis, malam Jumat, tanggal 27 Oktober 2016, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menetapkan seorang Wartawan Senior di Surabaya, H.Dahlan Iskan menjadi tersangka, kasus penjualan aset PT Panca Wira Usaha (PWU), sebuah BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur, saat ia menduduki jabatan Direktur Utama..
Setelah dinyatakan sebagai tersangka, kemudian malam itu juga, Dahlan Iskan, dijebloskan sebagai tahanan di Rutan (Rumah Tahanan Negara) Kelas 1 Surabaya di Medaeng, Waru, Sidoarjo, Jawa Timur. Dengan mengenakan jaket merah yang di punggungnya bertuliskan “Tahanan”, dari ruang pemeriksaan di Kejati Jatim, Dahlan digiring menuju mobil tahanan.
Saat menuju mibil tahanan itu Dahlan yang juga mantan Direktur Utama PT PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara), menjawab pertanyaan wartawan.
Begitu ditanyakan, bagaimana tanggapannya tentang penahanannya, Dahlan mengaku tidak kaget. dirinya dijadikan tersangka dan ditahan, karena memang sudah lama diincar. “Saya tidak kaget dengan penetapan sebagai tersangka dan ditahan, karena seperti Anda tahu, saya sedang diincar terus oleh yang lagi berkuasa,” kata Dahlan kepada wartawan yang mengerumuninya.
Secara tegas, Dahlan membantah dirinya melakukan korupsi. “Biarlah sekali-kali terjadi seorang yang mengabdi setulus hati, mengabdi sebagai dirut utama perusahaan daerah tanpa digaji selama 10 tahun, tanpa menerima fasilitas apa pun, harus menjadi tersangka yang bukan karena makan uang, bukan menerima sogokan, bukan karena menerima aliran dana, tetapi karena harus tanda tangan dokumen yang disiapkan anak buah,” ulas Dahlan.
Dahlan Iskan, yang waktu itu menduduki jabatan CEO (Chief Executive Officer) Grup Suratkabar Harian Jawa Pos, memang dipercaya oleh Gubernur Jatim waktu itu, H.Imam Utomo menduduki jabatan Dirut PT.PWU. Sepuluh tahun, sejak tahun 2000 hingga 2010, Dahlan dengan sukarela melaksanakan tugas atas jabatan itu.
Memang, kala itu Dahlan Iskan sebagai perintis Koran berjaringan pertama di Indonesia, yakni JPNN (Jawa Pos News Network) group yang mengelola sekitar 200 suratkabar di seluruh Nusantara, boleh dikatakan sedang “naik daun” dan dicap sebagai wartawan “kaya raya”.
Saat perusahaan daerah (PD) yang bernaung di bawah panji BUMD Jatim dalam keadaan sekarat, karena sebagian besar PD itu peninggalan kolonial Belanda. Mesin-mesinnya sudah banyak yang tua, dan pabrik yang tutup, serta ada pula PD yang harus menanggung hutang sepanjang masa, bahkan terancam dilelang pihak bank..
Dalam keadaan yang demikian, Dahlan menyampaikan proposal (kerangka acuan) manajemen. PD yang semula sebelas diciutkan menjadi lima PD ditambah satu Bank Pembangunan Daerah (BPD atau Bank Jatim. Lima PD ini pun kemudian digabung menjadi satu perusahaan bernama PT.PWU.
Banyak pejabat yang “sakit hati”, karena kehilangan jabatan sebagai direktur utama dan direktur-direktur di sebelas PD. Jabatan mereka diturunkan menjadi manajer-manajer dan juga ada yang pensiun dini.
Nah, perusahaan daerah yang tersebar di berbagai daerah di Jatim itu, karena sudah satu payung di PT.PWU, maka dilakukan “penyehatan” dengan penjualan dan pembelian asset. Untuk penjualan dan pembelian asset itu mendapat izin dari DPRD Jatim tanggal 24 September 2002 dengan Surat No.593/6083/040/2002 dan Izin Gubernur Jatim tanggal 20 November 2002 melalui surat No.593/9974/022/2002. Sebelumnya sudah mendapat persetujuan Dewan Komisaris melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 28 Mei 2001 dan 23 Mei 20012.
Anehnya, kata Pietar Talawai, penasehat hukum Dahlan Iskan, kliennya dipersoalkan melanggar Perda No.5/1999, karena melakukan pelepasan asset tanpa izin DPRD. Padahal, sudah jelas ada izinnya.
Namun, menurut Kepala Kejati Jatim, Maruli Hutagalung, ada kesalahan dan pelanggaran hukum yang dilakukan Dahlan. Selaku direktur utama dia menandatangani dokumen lelang pelepasan aset di Kediri dan Tulungagung yang bermasalah.
Sebelum menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka dan ditahan, Kejati Jatim juga sudah menetapkan staus yang sama kepada Wisnu Wardhana yang waktu itu menduduki jabatan Kepala Biro Aset di PT.PWU sebagai Ketua Tim Restrukturisasi.
Masih banyak pengamat kurang sependapat dengan Kejati Jatim yang dianggap gegabah melakukan penahanan terhadap Dahlan Iskan yang juga mentan Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Jawa Timur, bahkan juga menduduki jabatan Ketua Umum Pusat Serikat Perusahaan Pers saat ini – dulu disebut SPS (Serikat Penerbit Suratkabar)..
Maka sangat layak Pers dan mediamassa merasa prihatin dan melakukan “protes” atas kesembronoan penyidik Kejati Jatim itu.
Padahal, ujar Pieter Talawai, penahanan oleh Kejati Jatim tersebut sangat berlebihan. Sebab, Dahlan selalu kooperatif. Jika, restrukturisasi aset terjadi masalah, Dahlan tentu tak bisa serta-merta dikaitkan. Apalagi, dia telah membentuk tim restrukturisasi serta memberikan kuasa kepada Wisnu Wardhana.
Ketika membentuk tim dan menunjuk Wisnu Wardhana, Dahlan menerapkan pakta integritas. Dahlan melarang siapa pun melakukan tindakan korupsi. Minta fee pun dilarang. Dahlan juga menjamin tak pernah menerima apa pun dari Wisnu Wardhana, maupun tim restrukturisasi aset. Jangankan menerima sesuatu, sejak awal digaji di PT PWU saja tidak mau.
Penjualan aset yang selama ini dipermasalahkan kejati sebenarnya merupakan restrukturisasi aset. Uang dari aset yang dijual tak masuk ke kas perusahaan, tetapi dibuatkan deposito khusus atas nama perusahaan. Dengan demikian, uang penjualan itu tak tercampur dan terpakai untuk operasional PT PWU. Uang hasil pembelian tersebut wajib dipakai untuk membeli aset di tempat lain yang lebih produktif.
Restrukturisasi aset merupakan satu-satunya cara menghidupkan PWU. Sebab, saat lahir dari peleburan lima perusahaan daerah (PD), banyak aset PWU yang bermasalah. Apalagi, modal perusahaan kecil. Permasalahan aset PWU sangat kompleks.
Ada yang berstatus hak guna bangunan (HGB) dan hak penggunaan lahan (HPL) dengan izin mati bertahun-tahun. Ada juga yang sudah dikuasai pihak lain karena lama terbengkalai. Juga, ada yang nyaris disita bank karena sebelumnya diagunkan.
Jadi, jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan aset itu adalah menjual kepada orang yang tepat. Penjualan tersebut bersifat asset-to-asset. Aset dijual untuk dibelikan aset di tempat lain.
Ada yang menarik, menurut Guru besar hukum ekonomi Universitas Indonesia (UI) Erman Rajaguguk, tidak semua kesalahan yang terjadi dalam BUMN atau BUMD harus dimintakan pertanggungjawaban hukum ke direksi. Menurut dia, ketika direksi sudah menunjuk pelaksana teknis, seharusnya tanggung jawab sudah melekat pada pelaksana teknis tersebut.
Selama ini, kata Erman, termasuk ahli yang berpandangan bahwa kekayaan BUMN atau BUMD PT bukan termasuk kekayaan negara, tapi kekayaan negara yang sudah dipisahkan. Dengan demikian, ketika sudah menjadi aset yang telah dipisahkan, kerugian BUMN atau BUMD tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara. ”Meskipun 100 persen sahamnya dari pemerintah atau negara. Meskipun juga dividennya adalah uang pemda atau negara,” jelasnya.
Saat menjadi PT, BUMN dan BUMD juga harus tunduk pada UU PT. Dengan demikian, ketika terjadi penjualan aset, tentu yang harus didapatkan adalah persetujuan dewan komisaris. Erman menyatakan, ketika penjualan aset sudah disetujui dewan komisaris dan ternyata harganya di bawah NJOP (nilai jual objek pajak), hal itu juga belum tentu menjadi persoalan. Menurut dia, NJOP adalah patokan penetapan pajak atas objek pajak.
Polemik apakah kerugian BUMN atau BUMD termasuk kerugian negara atau bukan sebenarnya telah tuntas pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK telah memutus bahwa BUMN atau BUMD termasuk kerugian negara. BPK pun berhak memeriksa keuangan BUMN atau BUMD.
Meski begitu, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, tetap memberikan catatan. Dia menyebutkan, penanganan pidana korupsi terhadap kerugian BUMN atau BUMD tetap harus case-by-case. ”Jangan asal korporasi rugi, maka hal tersebut diartikan terjadi kerugian negara. Harus dilihat dulu apa sebabnya,” katanya.
Yang mutlak harus dibuktikan adalah ada tidaknya kesengajaan perbuatan melawan hukum dan niat jahat. Jika dua hal itu tak bisa dibuktikan, meski terjadi business loss yang menimbulkan kerugian keuangan negara, hal tersebut tidak bisa dibawa ke ranah pidana korupsi. (**)