Jakarta, Akhir akhir ini polemik laut China Selatan (LCS) semakin membuat kita risau, karena menurut Laksamana Komandan Angkatan Laut AS, John C. Aquilino mengklaim China telah mengubah sedikitnya 3 pulau buatan di Laut Natuna Utara, kenapa pemerintah Indonesia diam?
Menurutnya, Tiga pulau tersebut menjadi pangkalan militer untuk menempatkan jet tempur, sistem anti-rudal, anti pesawat, peralatan laser dan perangkat jamming.
Laksamana John C. Aquilino mengeaskan tindakan China ini tidak sesuai dari pernyataan Presiden Xi Jinping yang menyebut Beijing tidak berusaha mengubah pulau-pulau menjadi pangkalan militer.
“Saya pikir selama 20 tahun terakhir kita telah menyaksikan penumpukan militer terbesar sejak Perang Dunia II oleh RRC,” kata John C. Aquilino kepada Associated Press, dikutip dari Sputnik News, Senin, (21-03-2022).
“Mereka (China) telah meningkatkan semua kemampuan mereka, dan penumpukan persenjataan itu membuat kawasan tidak stabil,” ucapnya.
Perairan Laut Natuna Utara termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel telah menjadi rebutan sejumlah negara kawasan. Kawasan yang diklaim China ini dinilai kaya akan sumber daya hayatinya, potensi cadangan minyak dan mineral.
Menurut pengamat militer dan pertahanan Wibisono mengatakan bahwa kondisi Indonesia akan terancam.
“Persoalan dengan China mengenai Natuna dan LCS harus dipandang oleh pemerintah sebagai tantangan strategis. Artinya pemerintah tidak bisa melihat polemik ini hanya dalam ranah penegakan hukum atau law enforcement semata,” ujar Wibisono menyatakan ke awak media di Jakarta Rabo (23/03/2022).
Lanjutnya, sejauh ini respons pemerintah cenderung slow responsif dan performatif, seolah-olah pemerintah terlihat tegas dalam menghadapi polemik ini, tapi tidak menyelesaikan masalah atau mencegah munculnya masalah strategis baru. “Idealnya kita harus merombak sistem kebijakan strategis pertahanan kita. Bukan hanya soal maritim dan Natuna, tapi secara keseluruhan, sehingga kita bisa menyatukan semua instrumen strategis kita,” kata Wibi
Temuaan Laksamana Angkatan Laut AS tidak boleh dianggap sepele, pemerintah harus serius, imbuhnya.
Sengketa mengenai kawasan ini terakhir kali terjadi pada Desember tahun lalu, ketika China meminta agar Indonesia segera menghentikan pengeboran migas di perairan Natuna pada wilayah yang diklaim masuk Sembilan Garis Putus-putus atau Nine Dash Line. Hal tersebut berdasarkan pengakuan dari empat orang yang mengetahui permasalahan tersebut kepada Reuters. Permintaan Tiongkok ini belum pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah juga dilaporkan. Hal ini tentu meningkatkan ketegangan atas sumber daya alam antara kedua negara di wilayah strategis dan ekonomi global. Salah satu surat dari diplomat Cina kepada kementerian luar negeri Indonesia dengan jelas mengatakan kepada pemerintah untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai sementara. Pasalnya kegiatan tersebut diklaim berlangsung di wilayah Cina.
Laut Cina Selatan menjadi sumber konflik antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Cina. Penyebabnya batas laut antarnegara di kawasan tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, garis batas Cina yang mengacu kepada Nine Dash Line melewati ZEE sejumlah negara. Padahal, pengukuran ZEE telah ditetapkan dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selain itu, banyak negara yang saling mengklaim sebagai pemilik pulau-pulau tak berpenghuni di Laut Cina Selatan, di antaranya Kepulauan Spratly, Paracel, dan Scarborough. Perebutan terjadi karena potensi ekonomi di Laut Cina Selatan dan Laut Natuna Utara yang besar. (red)