Jakarta, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, pelaksanaannya tinggal menghitung hari. Puncak presidensi Indonesia di forum G20 itu rencananya akan dilangsungkan di Bali, 15-16 November mendatang. Berbagai persiapan dilakukan semua pihak untuk memastikan penyelenggaraan KTT G20 berlangsung aman, lancar dan sukses.
Menurut pengamat militer dan pertahanan Wibisono mengatakan agenda G20 agenda utama harus membahas tentang resesi dunia akibat Perang Dunia ketiga yang di ambang pintu, dimana Rusia sedang melakukan eskalasi kekuatan dan juga sudah kali kedua mengancam dengan senjata nuklir.
“Ada kebutuhan dari negara-negara yang konflik agar segera tercipta perdamaian, sebab perang tersebut telah menimbulkan efek krisis ekonomi, energi hingga krisis pangan,” ujar Wibisono menyatakan keawak media di Jakarta Kamis (10/11/2022).
Lanjutnya, dunia sangat membutuhkan lebih banyak kerja sama internasional untuk mengatasi masalah bersama, mekanisme utama untuk mengoordinasikan upaya semacam itu hampir tidak ada lagi. Penurunannya merupakan pertanda dan penyebab gejolak global yang menunggu
“Dunia sedang menghadapi tantangan besar bersama yang membutuhkan solusi kooperatif. Pandemi Covid-19 belum berakhir, dan upaya untuk mencegah pandemi lain baru saja dimulai. Meningkatnya beban utang membahayakan prospek ekonomi negara-negara berpenghasilan rendah dan kesejahteraan rakyatnya, Indonesia akan terdampak dari masalah global ini,” jelas wibisono
Lonjakan harga pangan dan gangguan pengiriman biji-bijian sejak invasi Rusia ke Ukraina telah meningkatkan risiko kelaparan di banyak bagian dunia. Dan, di atas semua itu, pemerintah dan bisnis sangat perlu mengubah komitmen nol-bersih mereka menjadi pengurangan emisi gas rumah kaca yang terukur.
“Ini adalah masalah yang menakutkan. Tetapi masalah terbesar dari semuanya adalah bahwa meningkatnya ketegangan geopolitik dan perang kini telah menghalangi mekanisme utama, forum para pemimpin G20, untuk mengorganisir tanggapan global terhadap mereka. Ketika bentrokan strategis atas keamanan nasional dan keunggulan ekonomi dan teknologi muncul, kerjasama internasional yang efektif menjadi hampir tidak mungkin, dan itu meningkatkan risiko bagi kita semua.” Pungkas wibisono. (red)