Jakarta, Peristiwa pembunuhan brigadir Joshua oleh mantan kadivpropam Irjen Ferdi Sambo menggoncangkan berita publik di Indonesia dan dunia, akhir akhir ini kinerja polri disorot dan banyak desakan untuk mereposisi kewenangan polri yang begitu full power, apalagi dengan terbentuknya satgassus sejak era Tito Karnavian, menimbulkan kesan mabes dalam mabes, yang kewenangannya melebihi tugas Bareskrim.
Sebelumnya posisi polri dibawah ABRI (sekarang TNI), setelah reformasi pada 1 April 1999, Presiden Habibie menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Di hari yang sama, diadakan serah terima di Markas Besar ABRI di Cilangkap. Letnan Jenderal Sugiono, Kepala Staf Umum ABRI, menyerahkan panji-panji Polri kepada Letnan Jenderal Fachrul Rozi, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan. Artinya kepolisian yang sudah tidak dalam lingkup ABRI, pindah dulu ke Dephankam, yang sebetulnya masih terkesan militeristik.
Pindahnya kepolisian dari ABRI ke Dephankam, seperti dicatat Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI, tertuang dalam Keputusan Menhankam/Pangab nomor Kep/05/III/1999 tanggal 31 Maret 1999. Inilah yang disebut Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Panglima ABRI Wiranto pada 1 Juli 1999 sebagai pemisahan dan pemandirian bertahap. Dari Fahrul Rozi, panji-panji itu lalu diserahkan kepada Kapolri Jenderal Roesmanhadi.
10 Juli 1999, Presiden Habibie menjelaskan pembagian tugas antara polisi dengan tentara. Ia bahkan mengemukakan bahwa ke depan, Kapolda bisa saja dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sementara Kapolri akan bertanggung jawab kepada presiden dengan anggaran yang dimasukkan dalam anggaran Departemen Dalam Negeri.
Setelah Polri berpisah dengan ABRI, tiga matra yang tersisa namanya berubah tak lagi ABRI, melainkan jadi TNI, sementara kepolisian pun lepas dari Departemen Pertahanan dan langsung berada di bawah presiden.
Menurut pengamat militer dan pertahanan dan pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Wibisono mengatakan bahwa saat ini Polri masih dibawah Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.
“Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebut Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah presiden, saya mengusulkan pembentukan Kementerian Keamanan Dalam Negeri dan Dewan Keamanan Nasional dan Polri bisa berada di bawah lembaga tersebut. Perkara keamanan termasuk dalam portofolio Kementerian Dalam Negeri.” Ujar Wibisono menyatakan ke awak media di Jakarta Selasa (30/08/2022).
Lanjutnya, Bila tugas Menteri Dalam Negeri terlalu banyak, maka perlu dibentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri agar Korps Bhayangkara bisa berada langsung di bawahnya. Hal ini seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan, pembentukan Dewan Keamanan Nasional yang juga dapat bertugas untuk menaungi kepolisian.
“Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogianya diletakkan di bawah salah satu kementerian dan Polri seperti TNI, sebuah lembaga operasional. Operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan-ketertiban oleh Polri, reposisi ini harus cepat dilakukan, agar tidak ada lagi peristiwa seperti Sambo lagi dikemudian hari, ” pungkas wibisono