Jakarta, Sudah hampir tiga Pekan sejak Pencoblosan Pemilu tanggal 17 April 2019 yang lalu, Penyelenggara Pemilu KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah mengumumkan Petugas Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia, tercatat berjumlah 474 orang, dan ribuan petugas KPPS lainnya masih dalam keadaan sakit,kejadian ini sungguh di luar batas kewajaran dan harus di usut tuntas, ujar Pembina Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Wibisono,SH,MH menyatakan ke Media di jakarta (4/5/2019)
Sedangkan Pengamat hukum dan politik, Mr. Kan mengatakan perisitwa berdarah yang merenggut ratusan jiwa orang bukan hal sepele, Ia menyebut sebagai pembunuhan Massal.
“Jumlah korban yang meninggal dunia telah melebihi pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Para petugas KPPS jadi korban atas keteledoran dan ketidak-profesionalan KPU. Itu sama saja melakukan pembunuhan Massal dengan jumlah sebanyak 474 orang. Ini perisitiwa yang patut diduga kuat merupakan kematian manusia secara massal yang “TIDAK WAJAR” atau tidak pantas. “Kata Mr. Kan di Jakarta, Jum’at (3/5/2019).
Ada dua Kasus yang akan saya bahas yaitu tentang Kecurangan dan Pelanggaran HAM, Tentang Kecurangan ;
MENGUBAH ANGKA HASIL PEMILU ADALAH PERBUATAN MELAWAN HUKUM ALIAS KEJAHATAN, DENGAN SANKSI PIDANA PENJARA 4 TAHUN DAN DENDA 48 JUTA RUPIAH
UU No. 17 Tahun 2017 Tentang Pemilu.Pasal 532 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan-denda paling banyak Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah).
Sedangkan atas dugaan kematian yang tidak wajar, secara hukum atas kasus tersebut sudah cukup jelas bahwa penyelenggara Pemilu ini (KPU) dan komissionernya harus bertanggung jawab atas kejadian ini.
“KPU sudah memenuhi unsur atas dugaan melakukan perbuatan yang melanggar Undang-Undang (UU) Hak Asasi Manusia (HAM). “ jelas Wibi
Mereka bisa dijerat UU HAM pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UU Republik Indonesia (RI) nomor 39 tahun 1999, kejadian ini merupakan tanggung jawab atas hukum Nasional dan hukum Internasional, yang berbunyi:
Ayat (1), Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
Ayat (2), Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Disamping itu, Ketua KPU Arief Budiman dan Anggotanya juga sudah dapat dijerat dugaan perbuatan tindak pidana (actus reus) yang dapat diduga melanggar Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) angka 3 dan/atau Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi:
Pasal 170 KUHP Ayat (1), Barang siapa terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan
Ayat (2),Yang bersalah diancam: dengan angka 3: dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
Pasal 359 KUHP “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”
Dalam hal ini Pemerintah seharusnya tanggap dan memproses semua kejadian ini,tidak cukup hanya memberikan santunan kematian,tapi harus di selidiki penyebab kematiannya, “ini jelas pelanggaran berat Hak Asasi Manusia”, ujar Wibi.
Oleh Karena itu,saya telah menggalang “Petisi Pidanakan KPU” untuk melaporkan semua oknum KPU yang berbuat curang serta mengusulkan kepada seluruh aparatur penegak hukum baik di wilayah hukum Nasional NKRI dan maupun Hukum Internasional atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar dapat segera bertindak hukum untuk menyelidiki peristiwa hukum yang sangat memilukan ini,ini tragedi kemanusiaan“, Pungkas Wibisono.