Wikana: Suara Kritis Golongan Muda dan Jejak yang Disembunyikan

  • Whatsapp
Patung Wikana di Gedung Juang Menteng 31 saat diabadikan keluarganya (foto: abri)

Jakarta, beritalima.com| – Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Wikana yang memiliki suara kritis golongan muda kerap muncul di momen krusial namun tenggelam di akhir narasi resmi negara. Ia tercatat sebagai motor pemikir kritis golongan muda yang mendorong percepatan proklamasi dan menteri pertama urusan kepemudaan di republik ini.

Wikana lahir di Sumedang (Jawa Baat), Oktober 1914, dan sejak muda terhubung dengan jaringan pergerakan berhaluan kiri. Kedekatannya dengan Sukarno sudah terjalin pada dekade 1930-an, menempatkannya di pusaran peristiwa politik besar.

Jelang 17 Agustus 1945 (tepatnya 16 Agustus malam), ia menjadi salah satu juru desak golongan muda agar proklamasi tidak menunggu restu Jepang. Ketegangan verbalnya dengan Sukarno pada malam Ramadan 1945 menegaskan wataknya yang lugas dan berani.

Ia termasuk tokoh Menteng 31 yang terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok bersama Soekarni, Chaerul Saleh serta golongan muda kritis lainnya. Tindakan ini dimaksudkan sebagai strategi politik memecah kebuntuan, bukan kriminalitas. Menteng 31 kini dikenal dengan Gedung Juang, berada di jantung kota Jakarta. Jelang kemerdekaan dahulu menjadi pusat kursus pendidikan politik golongan muda, dan Wikana adalah salah satu pengajarnya.

Pasca-proklamasi, Wikana memimpin Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang berdiri 1 September 1945. Ia juga hadir dalam Kongres Pemuda di Yogyakarta (10–11 November 1945) yang melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Dalam struktur awal Pesindo, ia tercatat sebagai wakil ketua, memperlihatkan pengaruhnya di gelanggang pemuda progresif. Organisasi ini menjadi salah satu kekuatan massa terpenting di awal revolusi.

Pada 1946–1948, ia dipercaya menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda di empat kabinet, mulai Sjahrir II hingga Amir Sjarifuddin II. Posisi ini menjadikannya menteri pemuda pertama dalam sejarah Indonesia. Wikana pun sempat menjabat sebagai Gubernur Militer di Solo, sebelum meletusnya Pemberontakan Madiun pada 1948..

Meski menduduki jabatan tinggi, ia tetap setia pada basis massa. Latar belakangnya yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) memperkuat posisinya di kelompok kiri. Tragedi menutup riwayatnya setelah 1965. Pada 1966, Wikana yang saat itu menjabat anggota MPRS, “dijemput” aparat dan tidak pernah kembali, hingga kini keberadaan jasadnya tak diketahui.

Kisah Wikana mengajarkan bahwa energi pemuda akan efektif jika terorganisir. Jabatan bukan alasan untuk meninggalkan basis, dan demokrasi membutuhkan memori yang adil.

Ia adalah cermin keberanian generasi muda, yang berpihak, berdisiplin organisasi, dan siap membayar harga perjuangan. Dalam pusaran sejarah nasional, namanya patut ditempatkan sejajar dengan para pejuang kemerdekaan lainnya (abriyanto, wartawan beritalima.com).

beritalima.com

Pos terkait