‘Wisuda-Wisudaan’, Fenomena Apa?

  • Whatsapp

Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Anak itu tampak ceria berdandan memakai pakaian kebesaran Yang laki-laki, baju kemeja putih plus dasi yang dibalut dengan setelan jas hitam berpadu celana hitam yang ia kenakan membuat penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Dan, yang pasti labih ganteng dan gagah. Pada saat yang sama yang perempuan juga tidak mau kalah. Semuanya memakai kebaya panjang plus sepatu hak tinggi.

Tatanan rambut dan solekan muka hasil berjam-jam antre di salon, menghasilkan tampilan muka glowing bak artis atau nyaris seperti bidadari-bidadari kecil nan molek. Bagi yang sudah setingkat SMA atau yang sederajat, memakai jas bagi putra dan kebaya bagi putri, tentu akan terlihat seperti para calon mempelai pria dan wanita yang siap menuju pelaminan masal. Kakek neneknya di kampung tentu juga akan dibuat ‘pangling’ saat dikirimi foto-foto hasil jepretan smartphone jika dikirim dengan tanpa keterangan jati diri.

Ilustrasi kesibukan dan gegap gempita bermake up ria tersebut hanya sedikit gambaran acara wisuda anak-anak sekolah yang kini sering kita saksikan. Hampir tidak ada sekolah yang tidak menyenggarakan acara wisuda tersebut. Sebagian mereka ada yang menyelenggarakan wisuda di sekolah atau di tempat terbuka lainnya, tetapi juga tidak jarang acara tersebut diselenggarakan di hotel. Seperti di Papua, salah satu hotel berbintang dekat kantor, sering menjadi arena acara wisuda anak-anak sekolah. Tempat penyelenggaraan tampaknya juga ikut menentukan grade sekolahan. Semakin prestis tempat yang digunakan seolah juga ikut menentukan semakin tingginya grade sekolahan.
Yang lebih mencengangkan kita ialah kegiatan wisuda ini kini tidak hanya dilakukan oleh sekolah lanjutan tetapi juga digalakkan pada pendidikana pra sekolah (PAUD, TK). Konsekuensinya, kini semua orang tua memang harus menambah pos anggaran pendidikan yang dulu tidak ada, yaitu untuk“Wisuda”. Bagi orang mampu tentu bukan terlalu menjadi masalah, dibanding dengan keceriaan putra-putri kesayangan.

Akan tetapi bagi yang kurang mampu anggaran wisuda yang biasanya tidak gratis dan relatif mahal itu tentu sangat membebani. Anggaran untuk persiapan masuk sekolah berikutnya, harus ludes sebelum waktunya. Apalagi, oleh sekolah acara wisuda itu sering terkesan diwajibkan. Bahkan, meskipun orang tua berhasil melawan sekolah dengan mengancam tidak mengikuti wisuda, akan tetapi justru tidak berdaya ketika mengahadapi anak sendiri. Rupanya anak justru telah mewajibkan dirinya sendiri ikut, karena merasa gengsi dengan teman-temannya. Di benak mereka wisuda dengan segenap dandanan dan pakaian kebesaran yang ada, merupakan bagian tren anak muda. Yang TK menangis, yang SD ngambeg, Yang SMP marah dan yang SMA ngamuk. Mereka sepertinya tidak peduli, bagaimana orang tua harus jatuh bangun atau pusing tujuh keliling, ketika harus mendapatkan biayanya.

Suatu hal yang membuat kita heran saat ini ialah sudah terjadinya polarisasi sikap orang tua menyikapi fenomena wisuda ini. Ternyata di tengah banyaknya orang tua yang meminta wisuda ditiadakan karena berbagai alasan, ada juga orang tua yang masih tetap menginginkan putra ataupun putrinya diwisuda. Alasannya simple: sebagai sebagai kenang-kenangan. Pro kontra antar orang tua ini juga yang menyababkan para pengambil kebijakan rupanya agak gamang untuk melarang wisuda anak sekolah lanjutan ke bawah seperti yang marak akhir-akhir ini.
Wisuda dan Yudisium
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “wisuda” diberi arti peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Dalam kamus ini juga diberi contoh penggunaan kata wisuda dalam kalimat, yaitu: “para sarjana yang baru lulus menghadiri acara wisuda bersama orang tua mereka.”
Menguacu laman UNY, sebagaimana dikutip media.com (16 Juli 2022) wisuda adalah proses akhir dalam rangkaian kegiatan akademik pada perguruan tinggi. Sebagai tanda pengukuhan atas selesainya studi, digelar proses pelantikan melalui rapat senat terbuka. Wisuda dilangsungkan untuk semua lulusan program studi. Di kalangan akademik, wisuda merupakan penanda kelulusan mahasiswa yang telah menempuh masa belajar pada suatu universitas atau perguruan tinggi. Biasanya prosesi wisuda diawali prosesi masuknya senat universitas yang terdiri dari rektor dan para pembantu rektor dengan dekan-dekannya guna mewisuda para calon wisudawan. Dalam menyelenggarakan wisuda, setiap perguruan tinggi memiliki agenda yang tidak sama. Ada yang dilakukan setiap tahun, ada juga yang setiap semester, tetapi menyesuaikan kalender akademik. Pada umumnya, calon wisudawan di Indonesia mengenakan pakaian yang sudah ditentukan, seperti pakaian pria menggunakan hem putih dan celana hitam bersepatu hitam, pakaian wanita menggunakan kebaya tradisional dengan kain batin dan bagian luarnya mengenakan toga.
Di samping istilah wisuda, di dunia perguruan tinggi juga dikenal istilah yudisium. Pada dasarnya istilah yudisium sendiri biasa muncul sebelum seorang mahasiswa melakukan wisuda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yudisium adalah nilai ujian lengkap (di perguruan tinggi). Yudisium ini biasanya berkaitan dengan pemberian nilai akademik secara keseluruhan pada tahap akhir. Mahasiswa yang telah ujian dan mendapatkan nilai skripsi tidak serta merta lulus, sebelum dinyatakan lulus yudisium oleh fakultas. Jadi, yudisium adalah tahap penentuan status kelulusan mahasiswa secara resmi (termasuk penentuan predikat kelulusan cumlaude, memuaskan, cukup memuaskan).
Yudisium juga berarti pengumuman nilai kepada mahasiswa sebagai proses penilaian akhir dari seluruh mata kuliah yang sudah diambilnya dan penetapan nilai dalam transkrip akademik, serta memutuskan lulus atau tidaknya mahasiswa dalam menempuh studi selama jangka waktu tertentu, yang ditetapkan oleh pejabat berwenang yang dihasilkan dari keputusan rapat yudisium. Rapat yudisium diselenggarakan oleh Senat Fakultas atau Program Pascasarjana. Keputusan Yudisium dinyatakan dengan keputusan Dekan atau Direktur Program Pascasarjana. Di tahap yudisium, fakultas akan mengevaluasi mahasiswa dari seluruh aspek akademik dan kemahasiswaan. Meski sudah memperoleh nilai skripsi, mahasiswa bisa dinyatakan tidak atau belum berhak wisuda apabila belum memenuhi berbagai persyaratan yang tentunya berbeda-beda di setiap perguruan tinggi. (mediaindonesia.com)
Mengacu penggunaan istilah wisuda di atas, pada mulanya istilah wisuda memang hanya berlaku bagi dunia pendidikan tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Akademi, dan Perguruan Tinggi lainnya). Dengan demikian acara wisuda pada lulusan non perguruan tinggi seperti yang marak saat ini, dapat kita sebut “wisuda-wisudaan”. Akan tetapi, acara itu saat kini terkesan sudah terlanjur masif. Sebagian kita pun patut bertanya-tanya: jangan-jangan ada yang bermain di balik kemasifan semua ini. Dengan mengambil contoh praktik karnaval pada acara peringatan HUT Kemerdekaan RI. Di balik hiruk pikuk pengusaha salon melayani pakaian dan dandanan (make up) para peserta karnaval, ternyata ada oknum sekolah yang memancing ikan di air keruh. Modusnya membuat semacam kontrak tidak tertulis dengan pengusaha salon tertentu dengan kesediaan pihak pengusaha salon memberikana sebagian penghasilannya kepada oknum tersebut. Praktik demikian (maaf) seperti bau kentut: Ada bau tetapi sulit dibuktikan, apalagi.dilihat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Cindy Mutia Annur (databoks.katadata.co.id/01-02-2023) Laporan Transparancy Internasional terbaru menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tercatat sebesar 34 poin dari skala 0-100 pada 2022. Angka ini menurun 4 poin dari tahun sebelumnya. Penurunan IPK ini turut menjatuhkan urutan IPK Indonesia secara global. Tercatat, IPK Indonesia pada 2022 menempati peringkat ke-110. Pada tahun sebelumnya, IPK Indonesia berada di peringkat ke-96 secara global.
Data tersebut pada akhirnya mengingatkan kita pada praktik penyekengaraan pemerintahan yang koruptif, seperti jual beli jabatan, pungutan liar, dan segenap praktik-praktik korupsi lainnya. Menganai fenemona demikian, ada yang membuat pernyataan menggelikan: “di negeri ini apa pun laku dijual”. Aroma demikian tamapaknya juga tercium di balik acara wisuda-wisudaan ini. Oleh sebagian sekolah wisuda ada yang sekedar digunakan mempertahanakan gengsi eksistensi sekolah. Tetapi, ada yang mencium aroma tidak sedap. Biaya pendaftaran wisuda ( sewa hotel, konsumsi, fotografer) dan salon merupakan bentuk pungutan yang bernuansa koruptif. Semua sekolah, terlepas yang bermotif positif atau negatif, seperti tidak mendapat hambatan sedikit pun mengadakan acara wisuda-wisudaan ini karena telah berhasil dengan sukses memanfaatkan psikho sosial anak. Anak tidak mungkin dilarang karena anak ternyata juga merasa butuh dengan acara itu. Bagi yang usia remaja, eksistensinya usia yang selalu diakui, membuatnya berkecenderungan bisa tampil gagah dan cantik di hadapan lawan jenis atau siapa pun, acara wisuda rupanya menjadi momen kebanggaan yang sangat dinantikan.
Para pembuat kebijakan pendidikan rupanya perlu mengkaji ulang mengenai fenomena wisuda-wisadaan ini. Tetunya, dengan mengingat plus minusnya, termasuk jeritan orang tua yang harus memikul biaya pendidikan yang semakin berat ini. Mutu pendidikan kita yang masih rendah harus menjadi cermin di balik kegemaran euphoria mengekspresikan kelulusan. Sebagaimana kita ketahui rangking Indonesia di dunia pendidikan, kini masih rendah. Menurut worldtop20.org, di tahun 2023 ini, Indonesia ada di urutan ke-67 dari 203 negara. Urutan Indonesia berdampingan dengan Albania di posisi ke-66 dan Serbia di peringkat ke-68. Di negara Asia Indonesia masih rendah, yaitu berada di peringkat ke-13. Peringkat ini masih kalah dengan 4 negara ASEAN lainnya, yaitu Singapura peringkat ke-2, Malaysia peringkat ke-8, Brunai Darussalam peringkat ke-9, dan Thailand peringkat ke-12. Realitas demikian perlu menjadi bahan refleksi semua pihak. Semua pengeluaran (biaya) yang secara langsung tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan sudah waktunya kita kurangi, termasuk biaya bersenang-senang dengan wisuda-wisudaan itu. Atau, jangan-jangan tren wisuda-wisudaan ini menjadi lahan baru perilaku koruptif bagi oknum-oknum tertentu. Wallahu a’lam.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988;
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001;
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait