Epilog, Serial Esai Spiritualitas Baru Abad 21, Narasi Ilmu Pengetahuan
Denny JA
Ada semacam rumah spiritual di otak manusia!
Itulah kesimpulan peneliti dari Columbia dan Yale University. Mereka mempublikasi temuannya di Journal Neuro Science: Celebral Cortex, Juni 2019. (1)
Satu lokasi di otak manusia, disebut parietal cotex. Bagian ini menjadi aktif ketika individu membayangkan dirinya berkomunikasi intens dengan apapun yang agung. Itu bisa Tuhan, Alam Semesta, gunung yang tinggi, samudra nan luas.
Riset dilakukan dengan responden dari aneka latar belakang keyakinan agama, ataupun yang tak lagi meyakini agama. Sekali mereka membayangkan komunikasi itu, dengan yang maha, yang kudus, yang sangat perkasa, apapun itu, saat itu pula parietal cotex aktif.
Inilah rumah spritualitas yang berdiam dalam otak manusia. Dari temuan ini disimpulkan, ruang religiusitas atau rumah spiritualitas bukanlah produk budaya. Sebaliknya, rumah spiritualitas itu yang menciptakan budaya.
Ruang religiusitas itu ada dalam benak homo sapiens. Namun eskpresi dan kecanggihan penjelasannya memang dipengaruhi level kesadaran kolektif manusia di era itu.
-000-
Kita dapat menyelami kembali sejarah evolusi kesadaran 200 ribu tahun Homo Sapiens. Apa yang tetap dan apa yang berubah dalam ekspresi spiritualitas mereka?
Bayangkan kita melesat naik pesawat superhebat ke masa silam.
Sekitar 70 ribu tahun lalu, itu era homo sapiens hidup di era pra sejarah. Ini masa zaman batu.
Seperti pernah saya tulis dalam esai sebelumnya, di satu bukit di Boswana, Afrika, ditemukan batu besar bergambar ular piton raksasa. Tempat itu diduga sebagai ritus spiritual paling tua yang pernah ditemukan. (2)
Para arkeolog menjelaskan. Salah satu suku nenek moyang homo sapiens 70 ribu tahun yang lalu memuja ular piton. Mereka meyakini asal muasal manusia dari ular piton. Mereka pun membuat ritual, memberikan sesajen, agar yang perkasa ular piton melindungi mereka dari aneka penyakit, bencana alam, yang menyerang tiba tiba, yang tak mereka pahami.
Pemujaan pada binatang besar, tak hanya terjadi di Afrika. Di era pra sejarah yang sama, penduduk Yunani puluhan ribu tahun lalu memuja beruang. Pada saat yang sama, penduduk di Jepang memuja Ikan Paus.
Itulah awal tumbuhnya kesadaran manusia. Posisi hewan sangatlah sentral. Di satu sisi, mereka hidup berburu hewan. Itulah cara untuk bertahan hidup, memperoleh makanan.
Di sisi lain, mereka pun takjub dan takut dengan hewan sangat besar. Mereka membayangkan ada spirit dari hewan paling ganas, yang paling kuasa yang mereka temui. Mereka pernah melihat hewan besar itu dengan mata kepala sendiri.
Kepada hewan terkuat itu mereka yakini tersimpan kekuasaan yang harus disembah.
-000-
Kesadaran homo sapiens terus berevolusi. Tradisi perburuan hewan berganti dengan pertanian. Manusia menetap, tak lagi berpindah-pindah. Mulai pula ditemukan teknologi baru saat itu seperti tulisan.
Sepuluh ribu tahun lalu, kesadaran spiritualitas homo sapiens sudah sangat bebeda. Memuja hewan besar tak lagi memuaskan bagi kesadaran homo sapiens di zaman pertanian.
Di era ini, sekitar 1500- 1000 tahun sebelum masehi, hidup tokoh bernama Zoroaster. Dictionary of philosophy menyebut Zoroaster filsuf pertama yang dikenal sejarah. (3) Ia hidup 700 tahun sebelum filsuf besar Socrates, Plato dan Aristoteles.
Tapi Zoroaster tak hanya melahirkan paham filsafat. Ia juga melahirkan agama. Konsep Tuhan monotheisme pertama- tama diperkenalkan oleh Zoroaster. Juga konsep soal hari akhir: neraka dan surga. Juga konsep soal malaikat.
Agama yang tumbuh di era awal peradaban sudah lebih abstrak. Yang dipuja adalah Sang Maha yang lebih gaib, yang tak terlihat, bukan memyembah yang kasat mata, seperti hewan.
Yang berkuasa tentu bukan ular piton, beruang, atau ikan paus. Yang bekuasa sebuah spirit yang serba maha, yang tak terlihat, bernama Ahura Mazda. Ini zat yang maha kuasa, maha tahu, maha adil. Posisi Ahura Mazda dalam hidup dan alam semesta sangatlah sentral.
Zoroaster membawa konsep Monotheisme jauh sebelum Kelahiran Judaisme, apalagi Kristen dan Islam. Zoroaster dianggap banyak mempengaruhi agama judaisme, Kristen dan Islam.
Walau menganut paham monotheisme yang sama, berbeda agama berbeda pula nama dari yang serba maha itu.
Judaisme tidak memuja Ahura Mazda, tapi menyebutnya Elohim, lalu Yahwe. Di kristen, di perjanjian baru menyebutnya berbeda lagi: kadang Theos, kadang Kyrios, kadang Pater (bahasa Yunani untuk Bapa). Islam menyebut yang Maha itu Allah.
Para ahli menafsir paham Tuhan yang berkembang di era ini adalah Tuhan yang mencampuri urusan manusia. Ialah Tuhan yang membela satu kaum, yang bisa marah kepada manusia yang membangkang pada ketetapanNya, yang menghukum, bahkan mengatur bagaimana wanita harus berpakaian. Mereka menyebutnya dengan istilah Personal God. (4)
Tingkat abstraksi homo sapiens di era revolusi pertanian sudah berkembang jauh dibandingkan dengan era zaman batu.
-000-
Revolusi pertanian pun diganti oleh zaman industri. Kembali kesadaran homo sapiens berevolusi.
Yang terpenting di era ini, lahirnya ilmu pengetahuan dan hak asasi manusia. Agamapun tumbuh hingga berjumlah 4300. Hak asasi melindungi setiap individu untuk memilih secara bebas agama, keyakinan dan tafsirnya.
Ilmu kosmologi sudah berkembang sedemikian jauh. Diketahui, bumi hanya setitik debu saja di tengah semesta.
Bagi sebagian, konsep Personal God, Tuhan yang membela satu kaum saja melawan kaum lain, yang mengintervensi kehidupan individu, tak lagi meyakinkan.
Sebagian memilih percaya pada Tuhan yang impersonal, yang mengejawantah dalam hukum alam. Albert Einstein sering menyebutnya di publik: saya meyakini Tuhan yang diyakini Spinoza. Itu bukan Personal God, tapi impersonal God, yang mengejawantah dalam hukum alam semesta. (5)
Arkeologi dan ilmu sejarah juga tumbuh sedemikian rupa. Berdasarkan peninggalan fosil dan dokumen di luar kitab suci, mereka menyimpulkan kisah Nabi Musa, Nuh dan Adam bukanlah kisah historis. Kisah itu dituliskan lebih dalam rangka pengajaran moral. (6)
Mulai dekade ini, homo sapiens akan kembali berevolusi. Berbeda dengan evolusi sebelumnya, kini homo sapiens memiliki kemampuan ikut menentukan arah evolusinya sendiri.
Segera dimungkinkan homo sapiens memasukkan silikon atau chip komputer ke dalam dirinya untuk menambah imajinasi ataupun kekuatan reasoning. (7)
Injeksi artificial inteligence, kemampuan mengedit DNA, sangat mungkin pula mengubah pariatal cotex. Untuk pertama kalinya, rumah spiritual dalam otak manusia bahkan bisa diubah.
-000-
Menyelami 200 ribu tahun usia homo sapiens, terasa perubahan itu. Manusia tumbuh dari yang memuja ular piton, dewa, menjadi memuja Personal God, Impersonal God, dan sebagainya.
Namun dalam 200 ribu tahun usia homo sapiens, ada pula yang tetap, yang tak berubah, yang selalu hadir. Itu kebutuhan mencari makna hidup. Itu dorongan untuk hidup bahagia secara otentik.
Dari perkembangan ilmu neuro science, kita ketahui kebutuhan meaning of life, pertanyaan eksistensial “Siapakah Aku?”, itu lahir karena rumah spiritual di otak manusia. Selama ada rumah spiritual itu pada otak homo sapiens, selama itu pula muncul kebutuhan spiritual.
Kini datang spiritualitas baru abad 21, dengan narasi ilmu pengetahuan. Spiritualitas baru ini tidak menggantikan agama. Ia hanya membatasi diri menjelaskan apa yang bisa dibuktikan oleh ilmu pengetahuan saja.
Spiritualitas baru ini tak masuk dalam perdebatan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Jika ada, juga spiritualitas baru tak menentukan apakah itu Personal God, impersonal God, Deisme, dan sebagainya. Itu semua wilayah agama dan filsafat yang tidak dicampuri oleh Spiritualitas baru.
Homo sapiens kini terpilah pilah dalam 195 negara, 4300 agama dan 6500 kelompok bahasa. Di luar perbedaan identitas sosial itu, spiritualitas baru menegaskan Satu Bumi, Satu Homo Sapiens, Satu Spiritualitas.
Apapun warga negara, status ekonomi, gender, orientasi seksual, warna kulit, tingkat pendidikan. Apapun agama yang dipeluk, apapun konsep Tuhan yang diyakini, semua homo sapiens bisa hidup bahagia dan bermakna, jika ia menerapkan mindset dan habit, yang sudah diuji berkali- kali melalui riset.
Saya menghimpun dan merumuskannya dalam formula 3P + 2S. Itu adalah Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning dan Spiritual Blue Diamonds. Masing masing prinsip buah hasil riset akademik itu sudah dijelaskan dalam esai sebelumnya.
-000-
Mulailah. Terbanglah. Hijrah! Perjalanan panjang dilakukan dengan setapak pertama. Semua kita layak hidup bahagia dan bermakna, apapun agama, asal negara, identitas sosial kita.
Bahagia atau tidak. Hidup bermakna atau tidak. Itu hanyalah buah dari sebuah mindset dan habit. Hanya untuk membuatnya ringkas dan mudah diingat, saya merumuskannya dalam 3P + 2S.
Sesuai dengan situasi masing-masing, silahkan memulai dengan mindset dan habit yang mana saja.
Saya sendiri lebih senang memulai dengan S paling akhir: Spiritual Blue Diamonds. Inilah tiga berlian biru yang diajarkan semua agama dan filsafat besar. Lakukan Kebajikan. Hidupkan Power of Giving. Tumbuhkan the Oneness: rasa satu dengan manusia lain, lingkungan sekitar dan misteri alam semesta.
Mari menyelami dan nikmati kedalaman, keindahan, dan misteri hidup. Seperti yang dituliskan Jalaluddin Rumi:
“Hidupkanlah Cinta dalam segala tindakan. Maka samudera maha dalam mengalir ke dalam sukmamu: samudera kebahagiaan, samudera ekstasi.”***
Juli 2020
(TAMAT)