Yorrys Minta Evaluasi Keberadaan Pasukan Non-Organik di Papua

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Sejalan dengan penambahan pasukan non organik ke Papua pasca peristiwa Nduga, Desember 2018, rentetan kekerasan di Provinsi ujung Timur Indonesia itu terus meningkat. Kekerasan tidak hanya melibatkan aparat keamanan tapi juga masyarakat Papua maupun kelompok yang selama ini disebut sebagai kriminal maupun separatis.

Awal tahun ini, sejumlah peristiwa mengemuka di wilayah yang selama ini dikenal sebagai objek vital. PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika berulang kali menjadi objek kekerasan. Seakan menunjukkan kebijakan penambahan pasukan di Papua justru menuai respons reaktif dan bahkan cenderung perlawanan dari kelompok kriminal atau mereka yang disebut sebagai kelompok separatis.

Anggota DPD RI dari Daerah Pemilihan Provinsi Papua sekaligus Ketua Komite II DPD RI, Yorrys Raweyai memandang, kondisi dan situasi ini memerlukan evaluasi secara menyeluruh karena ribuan pasukan non-organik yang sedang berada di Papua tidak lagi mampu memberi rasa aman. “Mereka menghadirkan situasi yang semakin mengkhawatirkan,” ucap Yorrys dalam keterangan pers yang diterima awak media, Jumat (17/4).

Dikatakan, rakyat Papua sedang menjadi objek dari persoalan akut yang selama ini tidak menemui solusi yang tepat. Mereka terkesan hanya cukup menerima kebijakan Pemerintah Pusat, walau kebijakan itu acapkali mengundang tanya. Nyaris tidak ada ruang untuk menolak, atau sekedar melayangkan sejumlah pertanyaan tentang situasi dan kondisi yang mereka alami.

Saya, kata Yorrys, memahami sepenuhnya kekhawatiran tentang kondisi Papua yang semakin meresahkan, adalah kekhawatiran bersama. Namun, sepatutnya kondisi tersebut dievaluasi dan diuji sejauhmana efektivitas dan efesiensi penerapannya di lapangan. “Memang, aparat pertahanan dan keamanan punya tugas dan kewenangan. Namun, masyarakat punya hak untuk menuntut pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugas dan kewenangan tersebut,” kata Yorrys.

Beberapa hari lalu, kata Yorrys, dia diperhadapkan kepada kenyataan yang mencengangkan. Proses peradilan yang dialami Anak Asli Papua, Mispo Gwijangge, terdakwa kasus kekerasan di PT Istaka Karya Nduga 2018 dihentikan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Tidak cukup bukti bagi pengadilan menindaklanjutinya,” tutur Yorrys.

Sejak awal, kata Yorrys, kasus itu terkesan janggal. Sejumlah kejanggalan telah diungkap berbagai pihak. Tidak hanya mereka yang berkecimpung dalam penegakan Hak Asasi Manusia di dalam negeri, tapi juga yang selama ini mengamati perkembangan Papua dari waktu ke waktu. “Walaupun pada gilirannya, Pihak Kepolisian tetap bersikukuh untuk menindaklanjutinya,” terang dia,

Terlepas dari itu, keputusan PN Jakarta Pusat seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak dengan mudah memberi stigma bagi masyarakat Papua. “Siapapun dia, warga negara berhak memperoleh perlakukan sama di mata hukum. Keadilan adalah milik semua orang, termasuk bagi warga Papua itu sendiri,” jelas Yorrys.

Di balik itu, respons terhadap persoalan kekerasan di Nduga yang diwanai aksi-aksi penertiban dan pengamanan seharusnya dievaluasi. Tuntutan penarikan pasukan non-organik oleh sebagian kalangan sejatinya dimaknai sebagai bagian dari kritisisme masyarakat terhadap peran dan fungsi aparat keamanan selama ini. “Sebab mereka subjek bagi ketentraman, keamanan dan kedamaian,” ujar politisi Partai Golkar ini.

Eskalasai kontak senjata yang melibatkan pihak keamanan dan mereka yang disebut kelompok kriminal serta separatis yang semakin meningkat, juga memerlukan evaluasi. “Tidak hanya itu, kontak senjata antara aparat kepolisian dan TNI yang seringkali terjadi dan menyisakan korban sudah cukup memuat kita mempertanyakan keberadaan mereka, apakah menjadi berkah atau masalah bagi Papua.”

Sebagai representasi regional dan teritorial, Yorrys mengapresiasi berbagai kebijakan dan langkah anitisipatif pemerintah. Tapi bukan berarti langkah-langkah itu dirasa cukup di tengah persoalan kekerasan justru semakin menjadi-jadi. “Tanpa evaluasi, kita tidak akan berhenti menyaksikan berbagai anomali kebijakan yang ada di Papua,” cetus dia.

Sebagai perwakilan daerah, senator asal Papua ini mengajak seluruh pihak membuka mata dan pikiran dengan lebar dan jernih. Mengesampingkan ego sektoral di tengah berbagai persoalan yang sedang melanda bangsa dan negara kita adalah langkah bijak yang harus ditempuh.

“Persoalan kemanusiaan adalah perhatian kita bersama. Atas dasar kepentingan apapun, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan adalah harga yang tidak bisa ditawar, sampai kapanpun,” demikian Yorrys Raweyai. (akhir)
.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait