SURABAYA, beritalima.com | Rasa lega terbayar sudah saat Zainal Abidin Achmad dinyatakan lulus Ujian Doktor Terbuka (UDT) Fakuktas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Selasa (30/6) kemarin.
Abi sapaan akrabnya mendapat gelar Doktor pertama dari FISIP Unair di masa pandemi Covid-19 dengan prosedur ujian daring.
Tak butuh waktu lama bagi Zainal Abidin untuk menyelesaikan ujian Doktor Terbuka Fisip Unair di depan sembilan penyanggah. Tercatat dia hanya membutuhkan waktu 1 jam 15 menit untuk menaklukkan 18 pertanyaan dari masing masing penyanggah. Tentu saja, ujian doktor kali ini dirasa sangat berbeda dari biasanya. Pasalnya tak ada sanak saudara, kerabat maupun keluarga yang menyambutnya dengan seremonial ketika dinyatakan lulus. Sebab, di masa pandemi saat ini seluruh kegiatan harus dibatasi.
“Jadi memang berbeda seremonialnya. (Diskusi) tidak hanya sekedar formalitas tapi benar benar mengupas kedalam isu yang saya angkat. Beberapa kali ikut ujian terbuka karena S2 saya dua kali, tapi yang paling berkesan untuk gelar doktoral ini,” kata Abi Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran ini.
Dalam disertasinya, Abi menyinggung soal “Pergeseran Relasi Antara Pendengar Radio Dengan Institusi Radio Dalam Masyarakat Jaringan”.
Bukan tanpa alasan, sebab menurutnya, Radio lokal mempunyai “tempat” tersendiri di hati masyarakat lokal di tengah gempuran media radio mainstream.
“Banyak yang menganggap bahwa radio budaya ini radio ‘ndeso’ karena isinya tetang musik-musik tradisional dan diisi dengan bahasa-bahasa lokal,” ujarnya.
Padahal, katanya, radio budaya “lebih laku” di daerah dibanding radio mainstream yang sering memutar lagu-lagu kpop atau lagu barat.
“Jadi Radio yang banyak memutar lagu campursari dan dangdut campursari malah lebih maju dan dapat pengiklan lokal lebih banyak,” imbuhnya.
Kemudian setelah mereka mengenal facebook, aktifitas live streaming dilakukan di facebook. Begitupun promosi dilakukan di media sosial seperri instagram. Dari media-media itu radio lokal mempunyai pendengar yang lebih luas lagi. Bahkan hingga Suriname, Arab, dan Hongkong.
“Mereka yang menjadi pendengar di luar negeri adalah orang-orang Jawa yang mungkin rindu dengan rumahnya. Penggemar semakin luas serta pengiklan lokal justru mudah di radio lokal,” jabarnya.
Sekalipun gempuran teknologi sangat pesat, Abi percaya bahwa radio budaya akan tetap bertahan. Karena ia menilai tipikal masyarakat Indonesia ini stereotipenya mencintai selera lokal.
“Masing-masing (radio) punya pangsa sendiri. Kehadiran teknologi harus dimanfatakan dengan baik oleh radio budaya. Harapan saya empat radio lain yang punya identitas budaya. Sehingga berharap ada radio lain yang mengembangkan kultur lokal. Karena kalau kita punya radio yang mempertahankan kultur lokal ini akan memperkuat identitas nasional,” jelasnya.
Empat radio lokal yang dimaksud adalah radio Jodipati FM dari Nganjuk, radio Naga FM dari Sumenep, radio Sritanjung FM dari Banyuwangi, radio Media FM dari Surabaya. Penelitian ke empat radio ini dianggap punya kekhasan dengan konten lokal yang cukup unik.
“Analisis saya, keempat radio ini sudah memposisikan dirinya sebagai representasi budaya lokalnya,” urainya dosen dengan kepakaran Media Incultur Studies dan Etnografi Dosen Ilkom UPN Veteran ini.
Penelitian ini sudah dimulai sejak tahun 2016-2018. Bahkan selama dua tahun, Abi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan para komunitas radio budaya di empat radio. (Red).