10 Hari Kedua Bulan Ramadhan: Senarai Beragam Peristiwa Sarat Hikmah

  • Whatsapp

Oleh : Lia Istifhama

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat yang menjadi penguat rangkaian ibadah di dalamnya. Kedatangannya menjadi keberkahan dan kepergiannya menjadi menjadi kerinduan. Menginjak tahun ke 1442 H saat ini, perjalanan bulan Ramadhan menyajikan begitu banyak peristiwa sejarah penuh hikmah bagi setiap kaum muslimin. Begitupun dalam 10 hari kedua, rangkaian peristiwa sejarah menjadi penting dipelajari, diantaranya wafatnya Sayyidah Khadijah dan Sayyidah ‘Aisyah, hingga peristiwa Nuzulul Qur’an.

11 Ramadhan: Kepergian Sayyidah Khadijah r.a, Sosok Istri Yang Mulia

Meskipun beberapa sumber menjelaskan bahwa Sayyidah Khadijah r.a, namun tidak sedikit sumber sejarah yang menyampaikan bahwa wafatnya sosok istri yang mulia tersebut, pada 11 Ramadhan, tepatnya tahun ke 10 setelah kenabian.

Dalam kitab Shahih Bukhari, dijelaskan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, bahwa setelah Rasulullah SAW menerima wahyu yang dibawakan oleh malaikat Jibril di gua Hira’, Khadijah binti Khuwailid, sang istri Rasulullah-lah yang menenangkan nabi akhir zaman tersebut.

“Lalu Rasulullah Saw pulang dengan membaya ayat itu seraya goncang hati beliau, terus masuk pada Khadijah binti Khuwailid, lantas beliau bersabda: “Selimutilah saya, Selimutilah saya”. Maka mereka menyelimuti beliau sehingga keterkejutan beliau hilang. Beliau bersabda dan menceritakan itu kepada Khadijah: “Sungguh saya takut atas diriku”. Lalu Khadijah berkata: “Janganlah, demi Allah, Allah tidak menyusahkan engkau selamanya, karena engkau menyambung persaudaraan, menanggung beban, mengusahakan orang yang tidak punya, memuliakan tamu dan menolong penegak kebenaran.”

Hadis tersebut menjelaskan tentang mulianya Khadijah sebagai istri yang memberikan ketenangan tatkala sang suami mengalami goncangan hati. Dan semua sejarah juga mencatat bahwa Khadijah telah ikhlas mengorbankan harta untuk syiar islam, untuk mendampingi Rasulullah SAW mengajarkan segala kebaikan pada umatnya.

Kesetiaan dan ketulusan Sayyidah Khadijah sebagai seorang istri, menjadi cermin yang sangat penting bagi hubungan istri pada suami, termasuk saat ini. Besarnya cinta Khadijah juga dimiliki Rasulullah SAW hingga kepergiannya pada 11 Ramadhan (tahun kesepuluh setelah kenabian) yang bersamaan dengan tahun meninggalnya paman Rasulullah, menjadi tahun duka bagi Rasulullah SAW yang disebut Amul Huzni.

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Beliau sempat berkata pada Rasululllah: “Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.” Lalu, Rasulullah menjawab : “Jauh dari itu, ya, Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah.

Kemudian Khadijah memanggil Fathimah Azzahra dan berbisik: “Fathimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.”

Mendengar itu, Rasulullah SAW berkata: “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.” Begitu sabda Rasulullah Saw sebelum kedua mata Sayyidah Khadijah tertutup untuk selamanya.

12 Ramadhan: Mengambil Hikmah Hari Persaudaraan Anshar-Muhajirin

Pada 12 Ramadhan tahun pertama setelah hijrah, Rasulullah SAW mempersaudarakan para sahabatnya. Kaum Muhajirin Makkah dipersaudarakan dengan kaum Anshar di Madinah.

Dalam catatan sejarah, ada 90 orang yang dipersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajirin saat itu. Mereka pun memiliki ikatan erat dan saling menopang saat menghadapi peperangan melawan kaum kafir, diantaranya perang Khandaq.

Dalam kitab Shahih Bukhari, disebutkan hadis nomor 2704:

عَنْ عُبَادَةَ بِنْ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِنِّيْ مِنَ النُّقَبَاءِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ: بَايَعْنَاهُ عَلَى اَنْ لاَ نُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا وَلاَ نَشْرِقَ وَلاَ تَرْنِيَ وَلاَ نَقْتُلَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ وَلاَ نَنْتَهِبَ وَلاَ نَعْصِيَ بِالْجَنَّةِ, اِنْ فَعَلْنَا ذَالِكَ بِالْجَنَّةِ فَاِنْ غَشِيْنَا مِنْ ذَالِكَ شَيْئًا كَانَ قَضَاءُ ذَالِكَ اِلَى اللهِ.

Dari Anas r.a, dia berkata: Rasulullah SAW berangkat ke Khandaq (parit). Ketika itu orang-orang Muhajirin dan Anshar menggali di pagi yang dingin, di antara mereka tidak ada hamba sahaya yang bekerja demikian untuk mereka. Ketika beliau melihat kelelahan dan lapar pada mereka, beliau bersabda: “Wahai Allah, sesungguhnya kehidupan itu adalah kehidupan akhirat, maka ampunilah orang-orang Anshar dan Muhajirin.” Mendengar sabda Rasulullah, mereka pun menjawab: “Kami adalah orang-orang yang berbai’at kepada Muhammad untuk berjihad selama kita masih (hidup) selama-lamanya.”

Dalam kehidupan di masa sekarang, seyogyanya potret persaudaraan yang telah dicontohkan oleh kaum Anshar dan Muhajirin pun, harus terbangun oleh kita. Pentingnya membangun persaudaraan merupakan semangat penguatan ukhuwah Islamiyyah, yaitu persaudaraan yang baik sesama muslim. Hikmah dan faedah persaudaraan, bukan hanya menjadi aspek sosial yang bermanfaat bagi manusia, namun juga bagian dari penerapan ibadah mu’malah.

13 Ramadhan: Hikmah Peristiwa Perang Zallaqah Pada 13 Ramadhan 479 H

Pertempuran Zallaqah terjadi di sebuah daerah bermedan licin dekat Badajoz, Andalusia. Pertempuran tersebut termasuk pertempuran besar yang sangat berpengaruh dalam menentukan sejarah Islam di Andalusia. Pertempuran tersebut terjadi karena keinginan para penguasa dinasti kecil mempertahankan daerahnya dari serangan Alfonso VI, Penguasa Leon-Castilla. Ini sebagai usaha penguasa dinastidinasti kecil mempertahankan eksistensinya di Andalusia. Pertempuran yang terjadi pada hari Jum’at 479 H/1086 M tersebut dimenangkan oleh pasukan muslim yang saat itu tengah berpuasa pada pertengahan bulan suci, yaitu 13 Ramadhan.

Perang ini diberi nama az-Zallaqah yang artinya perang yang terjadi di tanah yang licin. Tanah itu jadi begitu licin akibat banyaknya darah yang tumpah hingga membuat para tentara tergelincir.

Perang dalam Islam, tidak bisa dikonotasikan perebutan sebuah wilayah, melainkan sebuah jihad. Jihad bisa saja disebabkan upaya menjaga wilayahnya dari penjajah, seperti yang terjadi di Indonesia dan bisa juga disebabkan penindasan kaum kafir Quraisy, seperti yang terekam dalam sejarah Rasulullah Saw serta para sahabatnya.

Dalam Islam, situasi peperangan harus dihadapi dengan semangat jihad sehingga memunculkan keberanian dan ketabahan. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis:

عَنْ سَالِمٍ اَبِى النَّضْرِ اَنَّ عَبْدَاللّهِ بْنِ ابِى اوْفَى كَتَبَ فَقَرَاَتُهُ اِنَّ َ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَالقِتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوْا

Dari Salim, ayah Nadhar, dia berkata: “Abdullah bin Abi Aufa menulis lalu aku membacanya. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kau bertemu mereka (musuh), maka tabahlah”. (Shahih Bukhari, Hadis nomor 2703).

Rasulullah juga memiliki keberanian dan sikap dermawan ketika berperang. Sebuah hadis menjelaskan bahwa cara Rasulullah mengajarkan sahabatnya untuk menghindari rasa takut adalah membaca ta’awwudz (“Audzu billahi minas syaitaanir rojiim”, aku berlindung kepada Allah SWT dari godaan setan yang terkutuk”) selesai shalat.

اِنَّ رَسُوْلَاللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ كَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْهُنَّ دُبُرَ الصَّلَاةِ اللَّهُمَّ اِنِّى اَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَاَعُوْذُ بِكَ اَنْ اُرَدَّ اِلَى اَرءذَلِ الْعُمُرِوَاَعُوْذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّ نْيَاوَاَعُوْذُبِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَحَدَّثْتُ بِهِ مُصْعَبًافَصَدَّقَهُ.
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. berlindung (ta’awudz) dengan kalimat-kalimat itu pada selesai shalat : “Wahai Allah aku berlindung kepadaMu dari ketakutan, aku berlindung kepadaMu dari dikembalikan kepada usia yang paling rendah (pikun), aku berlindung kepadaMu dari fitnah dunia dan aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur.” (Shahih Bukhari, Hadis nomor 2692).

14 Ramadhan : Belajar Sejarah Dari Runtuhnya Dinasti Umayyah.

Tepat pada 14 Ramadhan 132 H, terjadi pemberontakan yang meruntuhkan Dinasti Umayyah. Pemberontakan ini dilakukan oleh kaum muslim pada pemerintahan muslim yang saat itu masih berdiri. Berbagai spekulasi muncul saat Khalifah Marwan II menjadi pemerintahan terakhir Dinasti Umayyah akibat pemberontakan oleh kaum Abbasiyah. Mulai dugaaan gaya hidup khalifah-khalifah Umayyah yang dianggap melampau batas sehingga menimbulkan ketidakpuasan pada pemerintah, kebencian kaum Syi’ah pada pemerintah, maupun timbulnya fanatisme kesukuan yang membuat disintegrasi saat itu. Namun, poin utama dalam peristiwa tersebut adalah perpecahan kaum Muslim.

Peristiwa yang menjadi penanda lahirnya Dinasti Abbasiyah, merupakan peristiwa yang harus diambil hikmah karena seharusnya sesama umat Mukmin adalah dalam satu bangunan, seperti sabda Rasulullah SAW: ”Orang Mukmin terhadap Mukmin (yang lain) bagaikan sebuah bangunan. Sebagian menguatkan sebagian yang lain”. (Shahih Bukhari, hadis nomor 5718).

Runtuhnya Dinasti Umayyah harus diambil hikmah sebagai peristiwa yang memprihatinkan, karena bagaimanapun, Dinasti Umayyah telah sangat berjasa memajukan peradaban Islam dan memperluas wilayah Islam ke segala penjuru dunia saat itu.

Pentingnya menjaga persaudaraan sesama Muslim menjadi salah satu ruh Islam, yaitu memperkuat hablum minan naas. Sebaliknya, membunuh sesama Muslim adalah larangan, seperti yang dijelaskan dalam Surat an Nisa’ ayat 92. Dengan begitu, seyogyanya sebuah peperangan ataupun pemberontakan yang sangat mungkin menyebabkan pembunuhan sesama mukmin, sangat tidak layak dilakukan.

Dalam Kitab Shahih Bukhari hadis nomor 6721, dijelaskan sabda Rasulullah SAW:

عنِ الحسَنِ قال خرَجتُ بسِلاحي لياليَ الفِتنَةِ ، فاستَقبَلني أبو بَكرَةَ فقال : أينَ تُريدُ ؟ قلتُ : أُريدُ نُصرَةَ ابنِ عمِّ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم . قال : قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : إذا تَواجَه المُسلِمانِ بسَيفَيهما فكِلاهما من أهلِ النارِ. قيل فهذا القاتلُ ، فما بالُ المقتولِ ؟ قال إنه أراد قَتلَ صاحبِه.

“Apabila dua orang muslim berhadapan dengan dua pedang keduanya, maka keduanya adalah termasuk penghuni neraka.”

Naudzu billah min dzaalik. Hadis tersebut menjelaskan pentingnya sikap sabar dan menahan diri atas segala ketidakpuasan ataupun perselisihan. Menyikapi segala persoalan dengan pikiran dingin lebih mulia daripada membesarkan persoalan menjadi beragam intrik yang merugikan kepentingan umum. Hal ini ditekankan oleh Rasulullah SAW agar rakyat memiliki sikap khusnudzon dan bersabar atas kebijakan pemerintah demi kelangsungan sebuah negara.

Sebuah hadis menjelaskan: Dari Ibnu Abbas r.a, dari Nabi, beliau bersabda: “Siapa melihat sesuatu yang tidak menyenangkan dari penguasanya, maka bersabarlah terhadapnya, karena sesungguhnya orang yang berpisah (menyingkir) dari jamaah (Islam) barang sejengkal lalu dia meninggal, maka dia meninggal secara jahiliyyah.”

15 Ramadhan: Peristiwa Kemenangan Islam di Baitul Maqdis Atas Pertempuran Ain Jalut.

Diantara kisah perjuangan Kaum Muslim adalah yang terjadi di wilayah Ain Jalut, dekat Gaza Palestina. Bahkan, tepat pada 15 Ramadhan 658 H, pasukan Mongol mencatat kekalahan dalam sejarahnya. Kemenangan pasukan muslim yang dipimpin oleh Sultan Mesir, Saifuddin Quthuz, menjadikan pasukan Mongol yang dipimpin Katbugha berakhir di wilayah Palestina.

Kemenangan pasukan muslim melawan Mongol yang sebelumnya dikenal sangat digdaya dalam peperangan, setidaknya disebabkan dua hal, semangat jihad dan kecerdasan berstrategi.

“Waa Islaamaah!”, begitu yang diserukan oleh Sultan Quthuz untuk mengobarkan semangat para pejuang Islam. Seruan tersebut terbukti menguatkan semangat jihad para pasukannya untuk tetap teguh dan penuh keberanian melawan pasukan Mongol.

Disadur dari kitab shahih Bukhari, bahwa Rasulullah pernah menjelaskan keutamaan jihad sebagai bagian dari keimanan:

عن أبي هُرَيْرَة رضي الله عنه عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:“انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِي سَبِيلِهِ لا يُخْرِجُهُ إِلَّا إِيمَانٌ بِي وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِي أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَلَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّي أُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ، ثُمَّ أُحْيَا ثُمَّ أُقْتَلُ.

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW. beliau bersabda: “Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Mulia menguasakan orang yang keluar dari jalan-Nya hanya karena iman kepada-Ku dan membenarkan para Rasul-Ku maka Aku memulangkannya dengan pahala atau rampasan perang atau sorga yang diperolehnya. Seandainya bukan karena menyulitkan atas umat saya, niscaya tidak duduk-duduk di belakang detasemen tentara dan sungguh saya suka untuk terbunuh di jalan Allah kemudian saya dihidupkan, kemudian dibunuh dan dihidupkan kemudian dibunuh.”

Faktor kedua adalah kecerdasan berstrategi. Sultan Quthuz tidak serta merta menunjukkan kekuatan dari pasukannya, melainkan membiarkan pasukan Mongol merasa sombong ketika mengetahui pasukan Quthuz tidak sebanding dengan pasukannya. Tatkala pasukan Mongol maju penuh percaya diri untuk meraih kemenangan secara mudah, di saat itulah, seruan ‘Waa Islaamaah’ dari Sultan Quthuz terdengar nyaring diikuti dengan munculnya pasukan-pasukan Muslim yang semula berdiam di balik lembah, tiba-tiba keluar, menampakkan diri dan mengepung pasukan Mongol. Dalam waktu singkat, pasukan Mongol pun meraih kekalahan untuk pertama kalinya. Kecerdasan yang dimiliki pasukan Muslim saat itu membuktikan kekalahan kaum kafir atas kesombongannya.

16 Ramadhan: Mengenang Sayyidah ‘Aisyah Istri Rasulullah SAW.

Tepat pada 16 Ramadhan 58 H, sang Ummul Mukminin (ibunya kaum mukmin), Sayyidah Aisyah r.a., wafat. Istri Rasulullah yang telah merawikan 2210 hadis dan dikenal sebagai rujukan para sahabat dalam menanyakan perihal fiqih, menutup mata setelah melaksanakan shalat witir di kota suci Madinah.

Kisah Rasulullah SAW dengan Sayyidah Aisyah menjadi teladan indah kisah cinta sesama manusia. Dalam hadis nomor 3706 kitab shahih Bukhari, dijelaskan: “Dari ‘Aisyah r.a., sesungguhnya nabi SAW bersabda kepadanya: “Aku melihat dirimu dalam mimpi dua kali, yaitu aku melihat (rupa)mu di sehelai sutera, dan seseorang berkata: “Inilah istrimu, maka bukalah (wajah)nya”. Ternyata dia adalah dirimu, maka aku berkata: “Jika ini adalah (pemberian) dari sisi Allah, maka Dia akan melaksanakannya”.

Rasulullah SAW menikahi Aisyah setelah Khadijah wafat, yaitu sekitar 5 tahun (tiga tahun sebelum kepergian rasul ke Madinah dan dua tahun setelah Rasulullah tinggal di Madinah). Hal itu seperti yang tertuang dari hadis nomor 3707 shahih Bukhari.

17 Ramadhan: Peristiwa Nuzulul Qur’an yang Penuh Hikmah

Peristiwa turunnya wahyu pertama kali, yaitu Surat Al-Alaq, terjadi pada 17 Ramadhan 2 H, yang kemudian dikenang sebagai peristiwa malam Nuzulul Quran. Ada beberapa hikmah dalam peristiwa Nuzulul Qur’an:

1. Pentingnya membaca (ilmu)

Hikmah Pertama adalah pentingnya bagi umat manusia untuk membaca, sesuai arti ayat pertama surat al-Alaq: Iqra’ (bacalah). Membaca dalam arti ini, menunjukkan pentingnya mendapatkan ilmu dan wawasan dari kemampuan kita membaca sesuatu hal. Dalam surat Al Mujaadilah ayat 11, Ilmu dijelaskan sebagai bentuk tingginya derajat seseorang. Keutamaan ilmu juga dijelaskan dalam hadis nomor 80 Shahih Bukhari, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari tanda-tanda kiamat adalah dihilangkannya ilmu, ditetapkannya kebodohan, diminumnya khamer dan nampaknya perzinaan.”

2. Mengajarkan metodologi pengumpulan data untuk pertama kalinya.

Al-Quran yang semula diturunkan dalam bentuk ayat-ayatnya dalam kurun waktu hampir 23 tahun, atas kuasa Allah SWT, ternyata dapat terkumpul secara rapi dalam 114 surat. Tentu ini bukan hal yang bisa diterima logika, terlebih masa-masa pengumpulan mushaf Al-Qur’an pun, justru dimulai sejak Rasulullah SAW wafat, yaitu masa Khalifah Ustman Bin Affan.

3. Membaca Al-Qur’an menurunkan ketenangan melalui kedatangan Malaikat

“Suatu ketika Rasulullah SAW meminta sahabat Ibnu Khudair membacakan ayat suci Al-Qur’an, Ibnu Khudair terkejut karena tatkala ia membaca Al-Qur’an, ia seakan melihat ada bayangan di langit seperti lampu, ia pun bertanya pada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun bersabda: “Itu adalah Malaikat yang mendekat karena suaramu (membaca Al-Qur’an)”. (Shahih Bukhari, hadis nomor 4770).

4. Sebagai solusi permasalahan sesama umat.

Terdapat wasiat Rasulullah SAW yang dijelaskan dalam sebuah hadis:

“Kemarilah, tulislah untuk kalian sebuah kitab (catatan) di mana kalian tidak bakal tersesat sesudahnya.” Begitu sabda Rasulullah SAW jelang ajalnya di usia 63 tahun. Salah satu ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW) mempertajam maksud Rasulullah, yaitu bahwa pentingnya menulis kitab (sesuai apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW) merupakan sumber penyelesai atas perbedaan pendapat dan keributan. (Shahih Bukhari, hadis nomor 4215).

18 Ramadhan: Wafatnya Khalid bin Walid, Sang Pedang Allah yang Terhunus

Menginjak 18 Ramadhan, kita bisa membuka sejarah pada peristiwa kepergian sang Komandan Militer, Khalid bin Walid yang wafat pada 18 Ramadhan 21 H. Beberapa perang yang berakhir dengan kemenangan tatkala melibatkan Khalid bin Walid, diantaranya perang Tabuk, perang Riddah, dan perang Yarmuk. Mualaf Quraisy yang dijuluki saifullah al maslul (pedang Allah yang terhunus), memiliki kisah inspiratif. Sahabat Rasulullah SAW tersebut, menjadi mualaf setelah sebelumnya justru turut membunuh pasukan muslim di perang Uhud.

Pengakuan atas sikap terpuji Khalid bin Walid ra., juga dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari hadis nomor 3569:

عَنْ اَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَعَى زَيْدًا، وَجَعْفَرًا، وَابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ، قَبْلَ أنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ، فَقالَ أخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ، فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أخَذَ ابْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيْبَ، وَعَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ حَتَّى أخَذَ سَيْفٌ مِنْ سُيُوْفِ اللَّهِ حَتَّى فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

Dari Anas ra., sesungguhnya Nabi mengabarkan tentang kematian Zaid, Ja’far dan Ibnu Rawahah kepada khalayak sebelum khabar itu sampai kepada mereka. Beliau bersabda: “Zaid memegang bendera, lalu dia terbunuh. Kemudian dipegang Ja’far, lalu dia terbunuh. Kemudian dipegang Ibnu Rawahah, lalu dia terbunuh kedua mata beliau melelehkan (air mata), hingga dipegang oleh Pedang Allah (Khalid) sehingga Allah menaklukkan atas mereka (orang kafir).”

Dari hadis tersebut, diketahui bahwa keberanian Khalid bin Walid dalam berjihad, menjadi sikap terpuji beliau. Dengan begitu, Khalid memiliki peran penting dalam perluasan wilayah Islam dan kepergiannya menjadi hikmah agar kita sebagai umat Islam, harus mampu meneladani keberanian dalam membela agama Islam.

Wafatnya Khalid bin Walid disebabkan sakit, apakah karena wabah thaun yang saat itu melanda? Wallahu a’lam. Namun kehidupan akhir beliau menunjukkan kesabaran yang beliau miliki. Sebelum beliau wafat, wabah thaun telah merenggut 40 putra beliau, dan duka beliau bertambah karena beliau mengalami sakit-sakitan hingga akhir hidupnya. Atas segala cobaan, beliau memiliki sikap yang sangat sabar dan berlapang dada atas segala yang dialami. Wabah thaun sendiri, merupakan wabah mematikan yang sempat terjadi pada masa Rasulullah Saw dan sahabatnya. Kitab shahih Bukhari, hadis nomor 2700, menjelaskan bahwa wafat karena wabah adalah syahid:

عَنْ اَنَسٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الطَّاغُوْنُ شَهَادَةٌ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

Dari Anas bin Malik ra. dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Wabah penyakit adalah kematian syahid bagi setiap muslim.”

19 Ramadhan: Peristiwa penyerangan terhadap Ali bin Abi Thalib.

Konflik yang terjadi antara pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan pemberontaknya, yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi peristiwa yang memilukan dan seyogyanya menjadi pembelajaran kaum muslimin.

Saat itu, Mu’awiyah yang tidak puas dengan kekhalifahan Ali, telah kalah saat terjadi pertempuran dengan Khalifah Ali. Namun, Mu’awiyah justru mengajikan tahkim, yaitu pendelagasian untuk menentukan kesepakatan bagi pihaknya dengan pihak Khalifah Ali. Khalifah Ali kemudian menyetujui dan mendelegasikan keputusan kepada seorang ulama yang terkenal sangat jujur tetapi tidak baik dalam berpolitik bernama Abu Musa Al-Asy’ari. Sedangkan pihak Muawiyah mengutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr bin Ash.

Dalam tahkim tersebut pihak Ali bin Abi Thalib kalah bersaing dengan pihak Muawiyah. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari kelompok Khalifah Ali. Kemudian, pecahlah kelompok Ali bin Abi Thalib menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima hasil tahkim tetapi tetap setia terhadap Khalifah Ali, dan kelompok yang tidak menerima hasil tahkim tetapi justru kecewa dengan pemerintahan Ali bin Abi Thalib.

Mereka yang kecewa terhadap kepemimpinan Ali memilih untuk melakukan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib dan membentuk kelompok baru, yaitu kaum Khawarij. Sebagai oposisi dalam kekuasaan yang ada, Khawarij melakukan serangkaian pemberontakan.

Hal tersebut dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk menduduki wilayah Mesir. Akibatnya perekonomian pemerintahan Khalifah Ali mulai terganggu, mengingat Mesir menjadi sumber pendapatan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya perselisihan antara pemerintahan Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah diselesaikan dengan pemberian kekuasaan Syria kepada Muawiyah, dan Khalifah Ali tidak melanjutkan penyerangan terhadap pihak Muawiyah. Hal itu disebut oleh beberapa pihak sebagai kegagalan dari pemerintahan Ali bin Abi Thalib karena ternyata tidak menghentikan pemberontakan yang ada dan justru melemahkan kekuasaan Ali, sedangkan Muawiyah bertambah kuat akibat kelicikannya mengatur strategi dan menjatuhkan nama Khalifah Ali di depan kaum muslimin.

Segala rangkaian fitnah pun ditujukan pada Khalifah Ali sehingga terjadi peristiwa penyerangan terhadap Khalifah Ali oleh seorang pengikut Khawarij bernama Abdurrahman. Dikisahkan oleh beberapa sumber bahwa pada 19 Ramadhan 40 H, Abdurrahman memberikan sebuah pukulan yang hebat kepada Ali bin Abi Thalib ketika ia akan melaksanakan adzan di Masjid. Pukulan itu membuat Khalifah Ali mengalami luka yang fatal, dan wafat tak lama kemudian.

20 Ramadhan: Mengingat Kembali Kemenangan Islam (Fathul Makkah)

Pembebasan Mekkah (bahasa Arab: فتح مكة, Fathu Makkah) merupakan peristiwa yang terjadi pada pada 20 Ramadan 8 H, ketika Rasulullah Saw beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun.

Peristiwa tersebut dijelaskan dalam kitab Shahih Bukhari, diantaranya hadis nomor 4066 sampai dengan 4101. Penaklukan kota Makkah dilakukan Rasulullah Saw beserta pasukan muslim ketika berpuasa dan mereka kemudian berbuka puasa di Kadid (suatu wilayah sumber air di antara Qudaid dan ‘Usfan).

Penaklukan kota (suci) Makkah ditandai dengan bacaan surah Al Fath oleh Rasulullah SAW. Dalam penggalan ayat 1-3 dijelaskan: “1. Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. 2. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menjulukimi ke jalan yang lurus. 3. Dan agar Allah menolongku dengan pertolongan yang kuat (banyak).”

Kemenangan yang dimiliki umat Islam melalui peristiwa Fathul Makkah, patut kita teladani saat ini. Bahwa umat Islam harus memiliki keyakinan atas sebuah kemenangan setelah melalui beragam rintangan dan kesusahan. Dan kemenangan akan datang atas pertolongan dari Allah SWT, oleh sebab itu iman Islam harus kita internalisasi dalam diri.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait