Agar Pembangunan Bangsa Tidak Melenceng, Pangi: Indonesia Butuh Semacam GBHN

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan, dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melenceng dari apa yang dia sampaikan ketika kampanye pilpres.

Pada kampanye pilpres 2014 misalnya, kata pengamat sekaligus pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu, Gubernur DKI Jakarta setengah periode ini menjanjikan kepada calon pemilih untuk membangun tol laut. “Begitu beliau dipercaya sebagai presiden, yang dibangun malah infrastruktur tol,” kata Pangi.

Pada kampanye pilpres 2019, Jokowi tidak pernah berbicara masalah pembangunan Ibu Kota Negara. Yang dibicarakan adalah perbaikan ekonomi. “Namun, nyatanya setelah dia menjabat sebagai presiden untuk kedua kalinya, yang dilakukan adalah membangun Ibu Kota baru di Kabupaten Paser Utara dan Kutai, Kalimantan Timur.”

Hal itu diungkapkan Pangi dalam Diskusi Empat Pilar MPR dengan tema ‘Fokus MPR Lima Tahun Kedepan’ di Press Room Gedung Nusantara III Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (2/3). Selain Pangi, juga tampil sebagai pembicara Syarif Hasan (Partai Demokrat) dan Ahmad Riza Patria (Partai Gerindra).

Karena itu, kata Pangi, ke depan perlu dihadirkan kembali semacam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Bila tidak ada panduan semacam GBHN, ungkap laki-laki kelahiran Buluh Rotan, Kabupaten Sinjunjung, Sumatera Barat 20 Januari 1986 itu, ke depan bisa saja di tengah jalan presiden terpilih tidak menjalankan visi misi seperti yang dia sampaikan dalam kampanye untuk menarik suara pemilih.

“Tidak semua produk Orde Baru itu jelek. Dan, kita juga tak perlu anti Orde Baru. Artinya, yang baik diambil sehingga pembangunan dapat berjalan berkesinambungan. Jadi, pembangunan itu tidak bisa sesuai dengan selera presiden,” kata Pangi.

Dengan adanya GBHN, ungkap lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) tersebut, ke depan juga presiden dan Kepala Daerah baik itu Gubernur maupun Bupati/Wali Kota satu visi dan misi. Tidak ada istilah Gubernur maunya A tetapi karena Bupati/Wali Kota tidak satu partai politik yang di atasnya inginnya malah B sehingga tujuan untuk mensejahterakan rakyat tersebut tidak sinkron.

Pangi juga mempertanyakan tanpa ada semacam GBHN, bagaimana dengan presiden berikutnya, apakah seleranya. “Dengan begitu, perlu ada pemandu negara kita mungkin 25, 50 atau 100 tahun ke depan. Dengan adanya semacam GBHN, jelas arah trayek kebangsaan kita. Jadi, tidak ada lagi istilah asal beda.”

Singapura dalam membangun negaranya, kata Pangi, justru belajar dari Indonesia. Negara pulau itu memiliki semacam GBHN sebagai panduan sehingga siapapun Perdana Menteri negara itu, yang bersangkutan sudah mempunyai arah pembangunan. Jadi, Perdana Menteri Singapura tidak bisa ke kanan atau ke kiri.

Kalau ke luar dari trayek sehingga harus memulainya dari nol lagi. Arahnya tidak jelas. Dikatakan negara agraris tidak, negara industri juga tidak. Semuanya setengah-setengah. Jadi, mungkin pokok-pokok haluan negara semacam GBHN itu adalah, memotret perjalanan bangsa secara terencana, terstruktur, terukur termasuk memandu trayek agar tidak keluar dari Mandat cita-cita konstitusi.

Cita-cita konstitusi adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia, “Namun, faktanya demi imvestasi, virus Corona dianggap remeh bahkan statmennya tidak meneduhkan dan justru membuat aneh-aneh. Padahal melindungi segenap tumpah darah Indonesia itu dilakukan Arab Saudi, ga penting umroh, bisnis atau investasi.”

Demi Investasi, kita mau mengorbankan rakyat. Ini kan tidak melindungi segenap tumpah darah Indonesia sesuai dengan cita-cita kebangsaan kita, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, keadilan.

Kalau Soekarno bilang harmoni, keadilan dan kesejahteraan. Soekarno dalam konsensus GBHN biasanya manivesto politik yang dirumuskan itu pasti terkait dengan kesetaraan, demokrasi Pancasila, Harmoni dan kesejahteraan.

“Sekarang kita berbicara demokrasi Panca Sila, banyak orang mengatakan tidak sesuai dengan trah demokrasi asli Indonesia , karena sudah liberal, berdasarkan voting. Bahkan MPR meninggalkan tradisi Demokrasi Panca Sila yaitu musyawarah mufakat,” demikian Pangi Syarwi Chaniago. (akhir)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait