JAKARTA, Beritalima.com– Periode kedua Pemerintahan Presiden Joko Widodo agar tidak merubah kebijakan penggelontoran dana desa hanya karena faktor yang diutarakan di berbagai media massa, seolah-olah dana desa itu tidak memberi manfaat, tidak mengatasi kemiskinan serta bahkan diwarnai isu-siu korupsi.
Dan, terakhir peredebatan yang cukup ramai serta pernyataan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Abdul Halim Iskandar dengan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indarwati soal desa fiktif.
Harapan tersebut disampaikan politisi senior Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi XI DPR RI dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Pembangunan Nasional (PPN/Bappennas), Suharso Monoarfa di ruang Komisi XI DPR RI, Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, pertengahan pekan lalu
“Saya berharap Menteri PPN Bapennas tidak menarik kebijakan itu. Jangan karena kasus itu, kebijakan tersebut dirubah, karena secara kwantitatif permasalahan-permasalahan yang ada tidak signifikan dengan jumlah desayang ada,” kata Agun.
Jumlah desa yang ada, kata Wakil Rakyat dari Dapil X Jawa Barat tersebut, 76.000 lebih. Yang bermasalah hitungnya hanya puluhan. Begitu pula penyalahgunaan dana yang terjadi, itu kecil sekali persentasenya, tidaksampai tiga persen dari seluruh alokasi 73 triliun itu.
Ini menjadi penting kami utarakan, lanjut Agun, karena memang kami mendasarkan pada sebuah argumen pertama bahwa demokrasi yang kita bangun ini demokrasi yang masih in The making, masih belum punya format.
Dalam buku teakhirnya David Mathews, presiden di University Alabama dan pimpinan sebuah yayasan yang cukup terkenal. Dan, dia dengan bukunya menyatakan dengan bukunya berjudul demokrasi liberatif dan kekuatanwarga.
Saya ingin menggambarkan, ungkap Agun, sebetulnya masalah utama demokrasi sebagai solusi dari penyelenggaraan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk mensejahterakan rakyat ada persoalan itu sendiri yaitu pada citizen.
“Nah, citizen inilah pada akhirnya tak peduli mau demokrasi A, B, C, D ngak ada urusannya sama saya. Yang terpenting saya bisa makan, bisa hidup dan sebagainya sehingga akibatnya yang terjadi, demokrasi itu menjadi dipersimpangan jalan,” kata Agun menirukan apa yang ada dalam pikiran para nitizen tersebut.
Lebih jauh dikatakan politisi yang sudah enam periode berturut-turut dipercaya sebagai wakil rakyat itu, kita bisa lihat dari kecendrungan orang memilih, semakin hari semakin berkurang pastisipasi pemilih. Di Indonesia belakangan sudah agak naik.
“Nah, itu yang saya harapkan konsisten dengan ini, pemerintah terus memberikan dukungan karena salah satu kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerinatah hari ini. Itu betul-betul pro kepada rakyat sehingga rakyat terpanggil kembali untuk partisipasi dalam konteks pemilu.”
Di dalam kata pengantarnya, kata Agun, saya ingin memlihatkan bahwa buku yang diterjemahkan para Sindycate yang mengatakan, demokrasi kita yang sedang dalam proses in The Making yang sekarang membutuhkan kesabaran karena berpolitik kita hari ini sedang di uji banyak cobaan korupsi yang menggurita, oligarki partai politik, menguatnya gejala populisme konservatif yang anti toleransi dan anti demokrasi.
Karena itu, Dabid dalam bukunya menyarankan politik retorika elite harus ditarik membumi menjadi politik kerja warga dengan pelibatan kepedulian setiap orang. Artinya, govermen itu tidak of The Publik tetapi by The Publik karena sejurunya, pemilik kedaulatan itu adalah warga. Warga itu citizen, citizen itu ada di desa.
“Nah, hemat kami, ini yang harus juga diperhatikan jangan sampai kebijakan-keijakan perencanaan pembangunan kita bergeser dari paradigma-paradigma antirasi pembangunan yang hari ini tumbuh berkembang masuk di mana-mana.”
Contoh kasus, kata Agun, beberapa negara yang hancur luluh lantak karena demokrasinya itu jalan sendiri sehingga mengakibatkan yang namanya one man, one vote yang mengimplikasikan kepada tumbuhnya liberalisme, individualisme, akhirnya kapitalisme pasar sehingga yang mampu semakin mampu yang lemah semakin lemah.
“Ini fakta, sudah terjadi, Bisa kita lihat di beberpa negara Eropa seperti Yunani dan Italia yang mengalami krisis cukup parah. Begitu pula di Amerika Selatan, Argentina dan sebagainya. Kondisi-kondisi ini harus menjadi perhatian PPN/Bapernas. Janganlah kebijakan yang for citizen dana desa itu dirubah kembali.”
Selain itu, Agun juga berrhaap agar pemerintah juga bisa melihat dari kanjian kewilayahan, 80 persen alokasi anggaran itu pemberdayaan masyarakat itu masih berkonsentrasi di Jawa dan Bali. Selebihnya, di Seumatra, Kalimantan, Sulawesi, apalagi NTT, itu bagian yg masih harus terus diperdayakan.
Karena itu, penguatan program-program dana desa harus sudah ada setting desain yang berbeda satu dengan yang lainya. Mungkin di Jawa sudah mulai di berdayakan bagaimana agar masyarakat di desa itu betul-betul menyelenggarakan segala urusannya oleh mereka sendiri.
Mereka sudah mampu mengelola karna seluruh infrastruktur fisik maupun non fisik Jawa dan Bali relatif sudah efektif bisa bisa berjalan. Tetapi. di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan di Papua infrastruktur itu masih jauh sebagai sarana media transportasi barang, jasa dan sebagainya.
Karena itu, ungkap anggota Fraksi Partau Golkar ini, mungkin penggunaan dana desa harus ada kebijakan yang beragam belum tentu jawa dan luar jawa itu sama pasti harus dibedakan begitu pula di jawa sendiri mungkin ada daerah daerah tertentu yang memang masih terisolir sehingga mereka masih butuh panduan tidak bisa diperdayakan kepada masyarakat begitu saja.
“Kami yakin di Indonesia bagian timur, itu harus ada daya reaction yang jelas sehingga penggunaan dana desa itu bisa efektif mencapai tujuan masyarakat yang lebih berkeadilan dan sejahtera,” demikian Agun Gunandjar Sudarsa. (akhir)