SURABAYA – beritalima.com, Dr Solahudin SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) memberikan kritikan keras terhadap penegak hukum.
Kritik iti dia lontarkan, saat menjadi saksi ahli pada sidang kasus dugaan penipuan dan penggelapan dengan terdakwa Henry J Gunawan. Dalam keterangannya, Solahudin menegaskan bahwa penegak hukum dilarang melakukan lompatan hukum.
“Hukum pidana itu seperti pedang bermata dua. Jika salah penerapannya (hukum) maka akan merugikan seseorang yang tidak bersalah. Makanya penegak hukum harus berhati-hati dalam penegakan hukum,” ujar ahli hukum pidana itu pada sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (28/1/2018).
Saat ditanya oleh salah satu kuasa hukum Henry yaitu Bangun Patrianto mengenai perbedaan antara Pasal 372 (penipuan) dengan wanprestasi, dosen bergelar doktor ini menegaskan bahwa dua hal tersebut sangat jelas perbedaannya. “Pasal 372 dengan wanprestasi perbedaannya sangat jelas. Yang tidak jelas itu para penegak hukum yang tidak memahami hal itu. Ini penipuan, ini wanprestasi, sudah jelas semuanya,” jawab Solahudin.
Solahudin juga dimintai untuk menjelaskan tindak pidana yang dilakukan oleh suatu perseroan atau badan hukum. “Jika tindak pidana masuk ke aturan tertentu, maka aturan itu harus diperhatikan juga. Tidak boleh penegak hukum melakukan lompatan hukum. Kalau perseroan maka harus diperhatikan pula undang-undang perseroan,” bebernya.
Ia lantas memberi contoh, misalnya seperti suatu perusahaan melakukan tindak pidana, maka penegak hukum harus melakukan pemeriksaan menggunakan undang-undang perseroan. “Tidak bisa undang-undang perseroan dilewati. Jika itu dilewati maka konsekuensinya adalah surat dakwaan batal demi hukum dan status tersangka menjadi gugur,” jelas Solahudin di hadapan majelis hakim yang diketuai Unggul Warso Mukti.
Tak hanya itu, Solahudin juga menegaskan bahwa unsur materiil dalam kasus penggelapan dan penipuan yang dituduhkan harus ada. Jika memang tidak terjadi, maka tidak bisa dibuktikan. Karena itu, menurutnya dalam perkars pidana harus ada unsur melawan hukum, kalau hal ini tidak bisa dibuktikan maka bisa batal demi hukum. “Memperkaya diri sendiri atau orang lain itu boleh, asalkan tidak melawan hukum. Apalagi secara materiil perbuatan dalam pasal penggelapan dan penipuan itu tidak terjadi, maka tidak bisa,” tambahnya.
Terkait alat bukti saksi, Solahudin menandaskan, alat bukti saksi dalam mencari kebenaran materil dalam perkara tindak pidana sangatlah diperlukan. Namun dalam hukum pidana berapapun saksi yang dihadirkan hanya bisa dianggap sebagai satu alat bukti saja. “Keterangan saksi itupun tidak boleh bertentangan satu saksi dengan saksi yang lainnya. Kalau hanya keterangan saksi saja itu hanya satu alat bukti. Harus ada bukti lainya untuk memenuhi dua alat bukti. Jika tidak maka tidak bisa,” tandasnya.
Usai sidang, Bangun Patrianto, kuasa hukum Henry menegaskan, keterangan Solahudin di persidangan semakin memperlihatkan bahwa kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang menjerat Henry sangat lemah. “Sesuai keterangan saksi ahli tadi, maka tidak boleh penegak hukum melakukan lompatan hukum,” terangnya.
Bangun menjelaskan, saat menjual tanah di Claket, Henry bertindak atas nama perusahaan yaitu PT Gala Bumi Perkasa (GBP), bukan atas nama pribadinya. Hal itu dikuatkan dari keterangan saksi-saksi sebelumnya yang menyebutkan bahwa tanah di Claket merupakan aset milik PT GBP. “Jadi seharusnya saat itu polisi juga menggunakan undang-undang perseroan untuk menentukan apakah benar hal ini merupakan tindak pidana atau tidak. Jika itu tidak maka status Pak Henry sebagai terdakwa jadi gugur,” pungkas Bangun. (Han)