TERNATE,Beritalima.com – Pengacara dari terdakwa Ahmad Hidayat Mus menilai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut kliennya dengan hukuman 5 tahun penjara kasus dugaan korupsi pembangunan Masjid Raya Sula, tidak sesuai fakta hukum.
Menurut tim pengacara AHM, Waode Nurzaenab bahwa tuntutan JPU tidak ada fakta hukum sama sekali dari semua saksi yang diajukan penuntut umum di persidangan. Apalagi ahli katanya menyatakan bupati tidak terlibat dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
“Dalam persidangan semua saksi menyebut tidak ada intervensi bupati. Kemudian dikatakan penunjukkan langsung juga tidak benar karena menurut ahli penunjukan langsung yang dilakukan organisasi pengadaan tidak melawan hukum,” kata Nurzaenab usai menggelar sidang dengan agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Selasa (2/5/2017).
Semua pengadaan barang katanya dilakukan oleh organisasi pengadaan pada dinas Pekerjaan Umum di Sula. Belum lagi masalah tiga dokumen yang diteken bupati yaitu MoU, surat Multi Years dan surat bupati yang diyatakan sebagai intervensi bupati, itu jelas tidak terbukti. Karena itu semua baru dibuat pada Oktober 2006, sementara proses ini sudah dari awal tahun setelah penetapan APBD.
“Pengadaan dilakukan Februari dan Maret waktu itu tidak dilakukan penawaran karena memang sula daerah terpencil. Sula mekar 2003, pengadaan tahun 2006 belum ada kontraktor yang kualified, sehingga ketika dilakukan pengumuman lelang yang ajukan penawaran hanya PT. Nefan Pratama Mandiri sehingga dilakukan penunjukkan langsung. Kalau menurut ahli penunjuka langsung yang dilakukan organisasi pengadaan tidak melawan hukum, namun yang dilakukan terdakwa tidak terbukti karena jika merujuk pada dokumen yang diteken bupati itu belakangan baru muncul,” ujar Waode Nurzaenab.
Sebagai kabupaten baru katanya, belum punya pengalaman soal proyek tahun jamak atau MY sehingga mengacu pada daerah Batu Licin. “Itu baru ketemu Oktober sehingga jika lihat dokumen pembayaran, pembayaran termin pertama di April 2006 itu dasarnya bukan kontrak karena kontrak lahirnya belakangan yaitu setelah 2007, dari sini kita lihat tidak ada kaitannya dengan bupati,” jelas Waode Nurzaenab.
Jangan katanya ini kemudian dianalisa sedemikian rupa untuk kepentingan politik tertentu. “Ini kan tahun politik, Saya yakin ini banyak punya kepentingan politik, memang kami penasehat hukum tapi kami juga pelajari situasi yang ada,” kata Waode lagi.
Ahli yang dipakai juga oleh BPKP untuk melakukan pemeriksaan kontruksi bangunan dinilai adalah ahli abal-abal karena selain tidak punya keahlian dibidangnya, juga dianggap tidak punya kewenangan.
“Ahli abal-abal yang dipakai oleh BPKP. Ini mestinya batal demi hukum karena hasil pemeriksaannya tidak valid. Memang dari awal sudah ada rekayasa sedemikian rupa,” kata Waode.
“Kemudian dikatakan secara bersama-sama yang katanya sudah dihukum terlebih dahulu dalam pasal 55, pada putusan hasil sidang terdakwa sebelumnya tidak ada satupun yang menyebutkan bersama-sama dengan AHM. Tapi kenapa disini tiba-tiba muncul pasal 55,” kata Waode lagi. (bm/rdy)